Santri Generasi Milenial dalam Kancah Geo-digital dan Globalisasi
Oleh: Lilis Siti Fatimah
PENDAHULUAN
“Santri kalau pulang harus
bisa menjadi paku yang bisa menyatukan berbagai lapis masyarakat meski dianya
sendiri tak terlihat.”
~ KH. Abdul Aziz Mansur~
Begitulah santri, dimanapun mereka berada maka harus siap
menyumbangkan baik raga maupun pikirannya untuk bangsa dan umat—karena santri
bukanlah mereka yang hanya pintar ngaji namun santri adalah mereka yang mampu berkontribusi
untuk negeri. Membicarakan kontribusi santri, kita flashback terhadap sejarah
bangsa bahwa basis perlawanan terhadap kaum imperialis (penjajah) justru dari
pondok pesantren. Dimana jika para kyai dan santri pada hari itu tidak tampil
total melawan penjajah kemungkinan besar pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
belum merdeka, Sehingga pada tahun 2014 hari santri telah ditetapkan tepat pada
hari revolusi jihad yang alhamdulillah telah diakui oleh negara betapa peran
santri terhadap terbentuknya sebuah negara NKRI itu sangat besar yaitu tanggal
22 Oktober yang langsung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Pada hari santri yang pertama Jendral TNI Gatot Nurmantyo menyatakan
dalam salah satu pidatonya bahwa kemerdekaan bukanlah hasil perjuangan dari TNI
melainkan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali dari pondok pesantren yaitu
para kyai dan santri. Jika dulu lawan kita adalah penjajah maka sekarang lawan
kita adalah perubahan zaman yang begitu cepat menjangkit keseluruh elemen
kehidupan bermasyarakat. Kita hidup pada era globalisasi dan modernisasi dimana
kita tidak mampu membendung sepenuhnya. Namun, di era seperti inilah para kyai
dan pelaku pendidikan berbasis pondok pesantren dan Islam berusaha keras untuk
tetap memperjuangkan kemerdekaan NKRI dengan menanamkan nilai-nilai keislaman
serta peran penting terhadap agama dan bangsa.
Masalah selanjutnya yang sekarang kita hadapi adalah masuknya
budaya-budaya westernisasi yang mulai merambah di seluruh kalangan masyarakat
Indonesia terutama kalangan pemuda yaitu berupa gaya hidup yang cenderung
hedonism serta cara berpakaian yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Hal
tersebut tentu menjadi tantangan yang paling utama bagi kita. Maka dari situlah
pondok pesantren dan yayasan maupun lembaga-lembaga Islam adalah solusi yang
paling tepat dalam berperan memerangi budaya-budaya barat yang seolah telah
menjadi kiblat tren khalayak zaman sekarang.
Masalah-masalah tersebut tentu dapat
diatasi atau setidaknya diminimalisir tentunya melalui para intelektual,
seluruh lapisan masyarakat serta sesuai dengan pembahasan kali ini yaitu santri.
Dari sebuah data Kementerian Agama mencatat jumlah santri pondok pesantren di
33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta orang yang tersebar di
25.000 pondok pesantren. Artinya pesantren dan santri merupakan elemen penting
dalam kehidupan bernegara dan aset bagi kemajuan bangsa, menara62.com
(05/2017). Jumlah yang sangat banyak untuk menjadi pendobrak semangat
nasionalisme bangsa dalam sebuah pergerakan-pergerakan melawan para penjajah
otak kita yang bersembunyi melalui teknologi berupa Hp, komputer, internet dsb.
Namun hal tersebut hanya akan menjadi sekadar harapan ketika kita para santri
malah diam terjerat arus digitalisasi di era modern ini.
Dalam hal ini pendidikan berbasis Islam sangat penting guna
mengatasi problematika bangsa dan umat. KH. Akhmad Sa’id Asrori menyatakan dalam
salah satu ceramahnya pada acara akhirussanah di Ma’had IAIN Salatiga (05/17)
bahwa dulu tidak ada yang namanya SD, SMP dan SMA. Pendidikan di Indonesia ini
merupakan bawaan sistem para penjajah dimana mereka para akademisi yang lulus
kemudian menjadi pejabat dan politisi baik di daerah maupun pusat rata-rata
menjadi koruptor. Bisa kita lihat dari berapa banyak hari ini para DPR yang di
penjara, berapa banyak para bupati, gubernur dan walikota yang hari ini masuk
penjara. Itu karena mereka dididik dengan mental-mental penjajah yaitu memeras
kekayaan bangsa, mengeksploitasi dan menghianati rakyat. Sehingga kita dapat
melihat baik para politisi maupun non politisi mereka seakan menjadi the next generation of
imperialis atau penerus penjajah yang omong kosong, yaitu omong kosong ketika
mereka mengatakan akan memperbaiki Indonesia, omong kosong ketika mereka
mengatakan memahami Indonesia, omong kosong ketika mereka mengatakan mencintai
Indonesia. Karena sesungguhnya mereka adalah para mental penjajah.
Dikarenakan permasalahan-permasalahan itu lah santri yaitu para
alim ulama serta tokoh-tokoh agama di Indonesia mendirikan sistem pendidikan
pondok pesantren serta madrasah-madrasah dengan harapan mental-mental penjajah
serta arus globalisasi ini mampu dibendung dengan nilai-nilai Islam yang
ditanamkan kepada para santri Indonesia.
ISI
Generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun1982
hingga 1996 -- ada yang menyebut 2000 – dan hari ini berusia antara 21 sampai
35 tahun, Republika (19/10). Generasi milenial juga sering disebut sebagai
generasi digital dimana mereka lahir pada saat teknologi-teknologi canggih
berkembang seperti televisi berwarna, handphone dengan berbagai fitur dan
internet sehingga mereka dianggap
sebagai generasi yang pandai dalam berteknologi. ini merupakan ancaman
sekaligus tantangan bagi Indonesia—ancaman ketika kita sebagai generasi bangsa
Indonesia diam tidak mampu bersaing dan justru ikut arus tanpa menyaringnya.
Kemudian akan menjadi tantangan ketika kita generasi penerus sekaligus cendekia
muslim mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat mencapai tujuan bangsa.
Source: google
Hasil survey 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) bahwa hasil statistik pengguna internet Indonesia terbanyak
adalah generasi Mileneal. Dan yang
penulis sangat sayangkan hasil survey APJII juga menyatakan bahwa konten media
sosial yang paling sering dikunjungi adalah facebook dengan jumlah 54% atau
setara dengan 71,6 juta pengguna dan tertinggi kedua yaitu instagram dengan presentase
15% atau setara dengan 19,9 juta pengguna. Sedangkan berdasarkan konten
komersial yang sering dikunjungi adalah onlineshop dengan presentase 62% atau
setara dengan 82,2 juta pengunjung. Dengan hasil presentase tersebut diketahui
bahwa Indonesia menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar dan paling
mudah untuk ditembus oleh pasaran global.
Kita lihat betapa pengaruh
digitalisasi yaitu pengaruh teknologi yang begitu memberikan dampak negatif
kepada generasi bangsa mulai dari anak-anak maupun dewasa, baik masyarakat awam
maupun akademisi yang dibuktikan melalui maraknya berita di media sosial yang
hampir setiap minggu menginformasikan terjadinya kriminalitas yang tidak lain
bersumber pada penyalahgunaan teknologi dan juga internet. Di era digital ini
kalangan mahasiswa dimana salah satu perannya sebagai iron stock (generasi
penerus) juga tidak lepas dari penyakit pembodohan dari teknologi. Mereka
mahasiswa yang katanya kaum inteletual sekarang seakan menjadi kaum plagiat
yang paling handal. Itu karena otak mereka telah dicuci dengan segala sesuatu
yang serba mudah dan instan sehingga mereka menjadi generasi pemuda yang malas,
cenderung apatis dan sangat mudah dipengaruhi. Dari situlah peran pendidikan
berbasis islam sangat dibutuhkan oleh Indonesia guna mencetak generasi-generasi
yang siap dan tanggap terhadap baik problematika bangsa maupun umat.
Gaya hidup westernisasi atau kebarat-baratan memang akhir-akhir ini
sedang eksis di negara kita. Para anak muda generasi muslim pada umumnya sudah
lupa dengan budaya Islam itu sendiri. Budaya barat sekarang dibilang modern
sedangkan budaya sendiri dikata kuno sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Dikarenaan penulis sendiri adalah seorang santri maka penulis berani
mengatakan bahwa siapa saja kalau jiwanya sudah jiwa santri akhlaknya akhlak
santri maka tidak akan dengan mudah mengikuti budaya-budaya yang tidak sesuai
dengan baik kepribadian bangsa maupun syariat Islam. Mereka santri pasti akan
menyaringnya karena santri sudah diajarkan syariat, diajarkan cara bergaul yang
baik, berpakaian yang benar bahkan sampai hal kecil pun seperti makan Islam telah
mengaturnya—jadi santri tidak ada ceritanya ikut-ikutan budaya barat. Jika iya
di pondok pesantren atau instasi berbasis islam ada santri yang cenderung
hedonis serta mengikuti kebarat-baratan saya katakan itu bukan santri melainkan
ibarat botol sprite berisi air putih, kelihatannya saja sprite tapi pada
dasarnya hanya air putih biasa. Begitu juga dengan santri abal-abal mereka
hanya label-nya saja yang santri tapi jiwanya belum santri. Begitu juga
dengan siapapun yang akhlaknya seperti santri maka dia adalah santri
sesungguhnya.
Ketika zaman kolonial kita telah mengetahui bahwa santri merupakan
bagian dari komponen penting dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia. banyak Organisasi Islam yang didirikan oleh kalangan
santri seperti NU yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah oleh KH.
Ahmad Dahlan, Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto dsb. Dimana
organisasi tersebut merupakan basis perlawanan dalam membebaskan Indonesia dari
jajahan para kaum Imperealis. Ambil saja satu contoh ketika Jepang membuat
sebuah kebijakan bahwa ketika matahari terbit yaitu sekitar pukul tujuh pagi
bangsa Indonesia dipaksa untuk memujanya dengan membungkukkan setengah badan. Sehingga
muncullah perlawanan-perlawanan dari pondok pesantren, yang paling terkenal
yaitu pemberontakan KH Zainal Mustofa. Walaupun tidak jarang bentuk perlawanan-perlawanan
tersebut menjadikan mereka sebagai sasaran kebiadaban kaum imperialis waktu itu
. Namun, dari situlah perwujudan nyata semangat nasionalisme yang tertanam
dalam jiwa bangsa Indonesia. Jika kita amati semua itu merupakan perwujudan
dari pendidikan santri yang mampu menanamkan nilai-nilai patriotisme dalam jiwa
untuk bangsa hingga sampai saat ini. dimana mereka telah ditempa supaya
mempunyai jiwa pemimpin yang siap berletih-letih menanggung problema umat bukan
menyulitkan umat.
Namun bagaimanakah dengan sistem pendidikan sekarang?
Beliau KH Zainuddin MZ mengatakan bahwa sistem pendidikan kita di
Indonesia Cuma mengisi otak bukan membentuk watak. Otak diisi berbagai ilmu
tapi hati kosong, agama rapuh akhirnya moral rendah. Muncul manusia-manusia
yang pintar. Cuma saayang tidak benar, Indonesia kita bangkrut, Indonesia kita
terpuruk, Indonesia kita sakit saat ini. Kan ulah orang-orang yang pinter tapi
tidak bener. Begitulah wajah sistem pendidikan di Indonesia.
Dewasa ini sekolah-sekolah di Indonesia seakan bukan lagi sebagai
wadah pendidikan melainkan sekadar wadah transfer ilmu pengetahuan tanpa
memberi sebuah pemahaman terhadap peserta didik. Sehingga banyak generasi
Indonesia lulus dari sarjana, doktoral bahkan mereka yang telah bergelar
profesor sekalipun berakhir menjadi pengkhianat bangsa. Mereka menggerogoti hak
milik rakyat bak anjing yang tak pernah diberi makan. Bagaimana seorang doktor
dan profesor melakukan pengkhianatan yang luar biasa? ketika dalam diskusi
kelas maupun organisasi penulis sering bertanya pada teman-teman “apakah kalian
sudah puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah serta sistem pendidikan di
Indonesia?’ rata-rata dari mereka mengatakan tidak puas. Inilah hasil proses
dari pendidikan di Indonesia dimana sistemnya masih merupakan sistem para
penjajah sehingga melahirkan pemimpin yang juga bermental-mental penjajah.
Sehingga kehadiran pondok pesantren serta madrasah-madrasah mulai
dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah merupakan benteng bagi
generasi Indonesia muslim pada umumnya dalam memerangi dan mencegah munculnya
para pemimpin bermental penjajah. Di pondok pesantren serta madrasah-madrasah
inilah peran ulama serta tokoh-tokoh pendidikan Islam dapat dilihat dengan
sebuah aksi nyata dimana santri diajarkan menjadi sosok uswatun hasanah
(pemberi contoh yang baik) bagi umat dan bangsa serta siap menjadi pemimpin yang
ikhlas hanya mengharap ridho Allah. Karena siapa saja kalau melakukan segala
sesuatu orientasinya sudah ridho Allah insya Allah penulis jamin orang tersebut
tidak bakalan korupsi—tidak akan yang namanya mengkhianati bangsa.
PENUTUP
Santri adalah proses yang akan menjadi hasil dari sebuah sistem
pendidikan sukses di Indonesia. Gus Mus mengatakan bahwa santri bukan yang
mondok saja tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah santri. Akhlak
santri dalam artian yaitu mereka yang sederhana bukan hura-hura (hedonis),
argumentatif bukan profokatif, agent of change bukan following of
change, iron stock bukan ikutan shock (terguncang), menjadi
kontributor bangsa bukan menjadi koruptor bangsa. Maka dari itu mereka santri—cendekiawan
Muslim sangatlah dibutuhkan peran sertanya dalam membangun NKRI di kancah
geo-digital dan juga era globalisasi ini. Maka dari itu besar harapan dari
sekilas esay ini mampu menyadarkan semua lapisan baik masyarakat umum maupun
pejabat, baik rakyat jelatah maupun pemerintah, baik siswa maupun mahasiswa
sesuai dengan peranannya. Sadar dalam artian terus berkontribusi untuk negara tanpa
mengharapkan dapat apa tapi telah memberi apa.