Minggu, 17 Desember 2017

Santri Generasi Milenial dalam Kancah Geo-digital dan Globalisasi
Oleh: Lilis Siti Fatimah
PENDAHULUAN
 “Santri kalau pulang harus bisa menjadi paku yang bisa menyatukan berbagai lapis masyarakat meski dianya sendiri tak terlihat.”
~ KH. Abdul Aziz Mansur~

Begitulah santri, dimanapun mereka berada maka harus siap menyumbangkan baik raga maupun pikirannya untuk bangsa dan umat—karena santri bukanlah mereka yang hanya pintar ngaji namun santri adalah mereka yang mampu berkontribusi untuk negeri. Membicarakan kontribusi santri, kita flashback terhadap sejarah bangsa bahwa basis perlawanan terhadap kaum imperialis (penjajah) justru dari pondok pesantren. Dimana jika para kyai dan santri pada hari itu tidak tampil total melawan penjajah kemungkinan besar pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia belum merdeka, Sehingga pada tahun 2014 hari santri telah ditetapkan tepat pada hari revolusi jihad yang alhamdulillah telah diakui oleh negara betapa peran santri terhadap terbentuknya sebuah negara NKRI itu sangat besar yaitu tanggal 22 Oktober yang langsung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Pada hari santri yang pertama Jendral TNI Gatot Nurmantyo menyatakan dalam salah satu pidatonya bahwa kemerdekaan bukanlah hasil perjuangan dari TNI melainkan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali dari pondok pesantren yaitu para kyai dan santri. Jika dulu lawan kita adalah penjajah maka sekarang lawan kita adalah perubahan zaman yang begitu cepat menjangkit keseluruh elemen kehidupan bermasyarakat. Kita hidup pada era globalisasi dan modernisasi dimana kita tidak mampu membendung sepenuhnya. Namun, di era seperti inilah para kyai dan pelaku pendidikan berbasis pondok pesantren dan Islam berusaha keras untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan NKRI dengan menanamkan nilai-nilai keislaman serta peran penting terhadap agama dan bangsa.
Masalah selanjutnya yang sekarang kita hadapi adalah masuknya budaya-budaya westernisasi yang mulai merambah di seluruh kalangan masyarakat Indonesia terutama kalangan pemuda yaitu berupa gaya hidup yang cenderung hedonism serta cara berpakaian yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Hal tersebut tentu menjadi tantangan yang paling utama bagi kita. Maka dari situlah pondok pesantren dan yayasan maupun lembaga-lembaga Islam adalah solusi yang paling tepat dalam berperan memerangi budaya-budaya barat yang seolah telah menjadi kiblat tren khalayak zaman sekarang.
Masalah-masalah tersebut tentu dapat diatasi atau setidaknya diminimalisir tentunya melalui para intelektual, seluruh lapisan masyarakat serta sesuai dengan pembahasan kali ini yaitu santri. Dari sebuah data Kementerian Agama mencatat jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta orang yang tersebar di 25.000 pondok pesantren. Artinya pesantren dan santri merupakan elemen penting dalam kehidupan bernegara dan aset bagi kemajuan bangsa, menara62.com (05/2017). Jumlah yang sangat banyak untuk menjadi pendobrak semangat nasionalisme bangsa dalam sebuah pergerakan-pergerakan melawan para penjajah otak kita yang bersembunyi melalui teknologi berupa Hp, komputer, internet dsb. Namun hal tersebut hanya akan menjadi sekadar harapan ketika kita para santri malah diam terjerat arus digitalisasi di era modern ini.
Dalam hal ini pendidikan berbasis Islam sangat penting guna mengatasi problematika bangsa dan umat. KH. Akhmad Sa’id Asrori menyatakan dalam salah satu ceramahnya pada acara akhirussanah di Ma’had IAIN Salatiga (05/17) bahwa dulu tidak ada yang namanya SD, SMP dan SMA. Pendidikan di Indonesia ini merupakan bawaan sistem para penjajah dimana mereka para akademisi yang lulus kemudian menjadi pejabat dan politisi baik di daerah maupun pusat rata-rata menjadi koruptor. Bisa kita lihat dari berapa banyak hari ini para DPR yang di penjara, berapa banyak para bupati, gubernur dan walikota yang hari ini masuk penjara. Itu karena mereka dididik dengan mental-mental penjajah yaitu memeras kekayaan bangsa, mengeksploitasi dan menghianati rakyat. Sehingga kita dapat melihat baik para politisi maupun non politisi mereka  seakan menjadi the next generation of imperialis atau penerus penjajah yang omong kosong, yaitu omong kosong ketika mereka mengatakan akan memperbaiki Indonesia, omong kosong ketika mereka mengatakan memahami Indonesia, omong kosong ketika mereka mengatakan mencintai Indonesia. Karena sesungguhnya mereka adalah para mental penjajah.

Dikarenakan permasalahan-permasalahan itu lah santri yaitu para alim ulama serta tokoh-tokoh agama di Indonesia mendirikan sistem pendidikan pondok pesantren serta madrasah-madrasah dengan harapan mental-mental penjajah serta arus globalisasi ini mampu dibendung dengan nilai-nilai Islam yang ditanamkan kepada para santri Indonesia.
ISI
Generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun1982 hingga 1996 -- ada yang menyebut 2000 – dan hari ini berusia antara 21 sampai 35 tahun, Republika (19/10). Generasi milenial juga sering disebut sebagai generasi digital dimana mereka lahir pada saat teknologi-teknologi canggih berkembang seperti televisi berwarna, handphone dengan berbagai fitur dan internet sehingga mereka dianggap  sebagai generasi yang pandai dalam berteknologi. ini merupakan ancaman sekaligus tantangan bagi Indonesia—ancaman ketika kita sebagai generasi bangsa Indonesia diam tidak mampu bersaing dan justru ikut arus tanpa menyaringnya. Kemudian akan menjadi tantangan ketika kita generasi penerus sekaligus cendekia muslim mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat mencapai tujuan bangsa.
Source: google

Hasil survey 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa hasil statistik pengguna internet Indonesia terbanyak adalah generasi Mileneal. Dan yang penulis sangat sayangkan hasil survey APJII juga menyatakan bahwa konten media sosial yang paling sering dikunjungi adalah facebook dengan jumlah 54% atau setara dengan 71,6 juta pengguna dan tertinggi kedua yaitu instagram dengan presentase 15% atau setara dengan 19,9 juta pengguna. Sedangkan berdasarkan konten komersial yang sering dikunjungi adalah onlineshop dengan presentase 62% atau setara dengan 82,2 juta pengunjung. Dengan hasil presentase tersebut diketahui bahwa Indonesia menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar dan paling mudah untuk ditembus oleh pasaran global.
Kita lihat betapa pengaruh digitalisasi yaitu pengaruh teknologi yang begitu memberikan dampak negatif kepada generasi bangsa mulai dari anak-anak maupun dewasa, baik masyarakat awam maupun akademisi yang dibuktikan melalui maraknya berita di media sosial yang hampir setiap minggu menginformasikan terjadinya kriminalitas yang tidak lain bersumber pada penyalahgunaan teknologi dan juga internet. Di era digital ini kalangan mahasiswa dimana salah satu perannya sebagai iron stock (generasi penerus) juga tidak lepas dari penyakit pembodohan dari teknologi. Mereka mahasiswa yang katanya kaum inteletual sekarang seakan menjadi kaum plagiat yang paling handal. Itu karena otak mereka telah dicuci dengan segala sesuatu yang serba mudah dan instan sehingga mereka menjadi generasi pemuda yang malas, cenderung apatis dan sangat mudah dipengaruhi. Dari situlah peran pendidikan berbasis islam sangat dibutuhkan oleh Indonesia guna mencetak generasi-generasi yang siap dan tanggap terhadap baik problematika bangsa maupun umat.
Gaya hidup westernisasi atau kebarat-baratan memang akhir-akhir ini sedang eksis di negara kita. Para anak muda generasi muslim pada umumnya sudah lupa dengan budaya Islam itu sendiri. Budaya barat sekarang dibilang modern sedangkan budaya sendiri dikata kuno sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dikarenaan penulis sendiri adalah seorang santri maka penulis berani mengatakan bahwa siapa saja kalau jiwanya sudah jiwa santri akhlaknya akhlak santri maka tidak akan dengan mudah mengikuti budaya-budaya yang tidak sesuai dengan baik kepribadian bangsa maupun syariat Islam. Mereka santri pasti akan menyaringnya karena santri sudah diajarkan syariat, diajarkan cara bergaul yang baik, berpakaian yang benar bahkan sampai hal kecil pun seperti makan Islam telah mengaturnya—jadi santri tidak ada ceritanya ikut-ikutan budaya barat. Jika iya di pondok pesantren atau instasi berbasis islam ada santri yang cenderung hedonis serta mengikuti kebarat-baratan saya katakan itu bukan santri melainkan ibarat botol sprite berisi air putih, kelihatannya saja sprite tapi pada dasarnya hanya air putih biasa. Begitu juga dengan santri abal-abal mereka hanya label-nya saja yang santri tapi jiwanya belum santri. Begitu juga dengan siapapun yang akhlaknya seperti santri maka dia adalah santri sesungguhnya.       
Ketika zaman kolonial kita telah mengetahui bahwa santri merupakan bagian dari komponen penting dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia. banyak  Organisasi Islam yang didirikan oleh kalangan santri seperti NU yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto dsb. Dimana organisasi tersebut merupakan basis perlawanan dalam membebaskan Indonesia dari jajahan para kaum Imperealis. Ambil saja satu contoh ketika Jepang membuat sebuah kebijakan bahwa ketika matahari terbit yaitu sekitar pukul tujuh pagi bangsa Indonesia dipaksa untuk memujanya dengan membungkukkan setengah badan. Sehingga muncullah perlawanan-perlawanan dari pondok pesantren, yang paling terkenal yaitu pemberontakan KH Zainal Mustofa. Walaupun tidak jarang bentuk perlawanan-perlawanan tersebut menjadikan mereka sebagai sasaran kebiadaban kaum imperialis waktu itu . Namun, dari situlah perwujudan nyata semangat nasionalisme yang tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia. Jika kita amati semua itu merupakan perwujudan dari pendidikan santri yang mampu menanamkan nilai-nilai patriotisme dalam jiwa untuk bangsa hingga sampai saat ini. dimana mereka telah ditempa supaya mempunyai jiwa pemimpin yang siap berletih-letih menanggung problema umat bukan menyulitkan umat.
Namun bagaimanakah dengan sistem pendidikan sekarang?
Beliau KH Zainuddin MZ mengatakan bahwa sistem pendidikan kita di Indonesia Cuma mengisi otak bukan membentuk watak. Otak diisi berbagai ilmu tapi hati kosong, agama rapuh akhirnya moral rendah. Muncul manusia-manusia yang pintar. Cuma saayang tidak benar, Indonesia kita bangkrut, Indonesia kita terpuruk, Indonesia kita sakit saat ini. Kan ulah orang-orang yang pinter tapi tidak bener. Begitulah wajah sistem pendidikan di Indonesia.
Dewasa ini sekolah-sekolah di Indonesia seakan bukan lagi sebagai wadah pendidikan melainkan sekadar wadah transfer ilmu pengetahuan tanpa memberi sebuah pemahaman terhadap peserta didik. Sehingga banyak generasi Indonesia lulus dari sarjana, doktoral bahkan mereka yang telah bergelar profesor sekalipun berakhir menjadi pengkhianat bangsa. Mereka menggerogoti hak milik rakyat bak anjing yang tak pernah diberi makan. Bagaimana seorang doktor dan profesor melakukan pengkhianatan yang luar biasa? ketika dalam diskusi kelas maupun organisasi penulis sering bertanya pada teman-teman “apakah kalian sudah puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah serta sistem pendidikan di Indonesia?’ rata-rata dari mereka mengatakan tidak puas. Inilah hasil proses dari pendidikan di Indonesia dimana sistemnya masih merupakan sistem para penjajah sehingga melahirkan pemimpin yang juga bermental-mental penjajah.
Sehingga kehadiran pondok pesantren serta madrasah-madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah merupakan benteng bagi generasi Indonesia muslim pada umumnya dalam memerangi dan mencegah munculnya para pemimpin bermental penjajah. Di pondok pesantren serta madrasah-madrasah inilah peran ulama serta tokoh-tokoh pendidikan Islam dapat dilihat dengan sebuah aksi nyata dimana santri diajarkan menjadi sosok uswatun hasanah (pemberi contoh yang baik) bagi umat dan bangsa serta siap menjadi pemimpin yang ikhlas hanya mengharap ridho Allah. Karena siapa saja kalau melakukan segala sesuatu orientasinya sudah ridho Allah insya Allah penulis jamin orang tersebut tidak bakalan korupsi—tidak akan yang namanya mengkhianati bangsa.
PENUTUP
Santri adalah proses yang akan menjadi hasil dari sebuah sistem pendidikan sukses di Indonesia. Gus Mus mengatakan bahwa santri bukan yang mondok saja tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah santri. Akhlak santri dalam artian yaitu mereka yang sederhana bukan hura-hura (hedonis), argumentatif bukan profokatif, agent of change bukan following of change, iron stock bukan ikutan shock (terguncang), menjadi kontributor bangsa bukan menjadi koruptor bangsa. Maka dari itu mereka santri—cendekiawan Muslim sangatlah dibutuhkan peran sertanya dalam membangun NKRI di kancah geo-digital dan juga era globalisasi ini. Maka dari itu besar harapan dari sekilas esay ini mampu menyadarkan semua lapisan baik masyarakat umum maupun pejabat, baik rakyat jelatah maupun pemerintah, baik siswa maupun mahasiswa sesuai dengan peranannya. Sadar dalam artian terus berkontribusi untuk negara tanpa mengharapkan dapat apa tapi telah memberi apa.


Internalisasi Bhineka Tunggal Ika Guna Mewujudkan Persatuan Umat dan Kebangkitan Bangsa
Oleh: Lilis Siti Fatimah

PENDAHULUAN
Bertepatan dengan tahun baru Hijriyah yaitu pada 1 Muharram 1439 H,  Zainut Tauhid selaku Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpesan  kepada seluruh umat muslim di Indonesia untuk mengembangkan sikap toleransi, tawazun (keseimbangan) serta menegakkan keadilan dalam menjalankan ajaran agama guna mewujudkan persatuan umat dan bangsa, Kamis (21/9).
Ini memang bukan suatu perkara yang mudah apalagi melihat latar belakang negara kita yang terdiri dari berbagai aliran beragama, ras/suku, budaya dsb. Ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) sepertinya telah dikumandangkan dari dahulu di negeri ini. Namun masih saja kita mendengar konflik yang tak berkesudahan di berbagai lini daerah. Negeri yang dulunya digandrungi akan kedamaian seakan semakin luntur tak berjejak.
Dewasa ini banyak sekali media yang memperbincangkan perihal banyaknya intoleransi yang terjadi di Indonesia, tak terkecuali antar aliran beragama  Islam. Tentu hal ini sangat meresahkan bagi umat Muslim di Indonesia terutama bagi aliran minoritas. Sebagaimana yang penulis kutip dari laman web KSM EKA BRASETY Universitas Indonesia bahwa hasil catatan  oleh komnas HAM, kejadian intoleransi di Indonesia terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Katakan saja pada tahun 2010 komnas HAM menerima 84 buah pengaduan kasus dimana 26 kasus penyegelan rumah beribadah, 14 kasus kekerasan dalam beraliran, 7 kasus sengketa internal dan konflik, dan 6 kasus pelanggaran terhadap jemaah Ahmadiyah, dan sisanya pelanggaran lain-lain. Pada 2011 tercatat 83 kasus pengaduan dengan 32 kasus terkait gangguan dan penyegelan atas rumah ibadah, 21 kasus terkaait Jamaah Ahmadiyah, gangguan dan pelarangan ibadah 13 kasus dan diskriminasi atas minoritas agama 6 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 68 pengaduan dan pada tahun 2013 Komnas HAM menerima 39 berkas pengaduan. Data-data terseebut merupakan data yang tercatat pada tahun 2010-2013, belum ditambah dengan deretan kasus lainnya dari tahun 2014 hingga tahun 2017 ini.
Data diatas dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dalam memahami konteks toleransi. Tentu hal ini perlu adanya suatu pergerakan khusus juga kesadaran dari berbagai lapisan. Disini penulis lebih menekankan pada pemahaman atas Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan sekaligus cita-cita bangsa dalam meningkatkan kesadaran juga pemahaman bangsa mengenai bertoleransi. Karena dari pemahaman semboyan inilah Indonesia menjadi satu  dan sebab kurang pemahaman semboyan ini juga bangsa Indonesia ini bisa hancur terpecah belah.
Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tapi tetap satu jua. Berpuluh-puluh tahun kalimat tersebut terukir di lambang garuda kita dan berpuluh-puluh tahun kita melontarkan kalimat tersebut. Namun apakah sebenarnya arti dari semboyan itu bagi kita?
Dengan memahami makna yang terkandung dalam pancasila dan bhineka tunggal ika diharapkan tidak ada lagi konfrontasi antar umat muslim sehingga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah tetap terjaga.  Penulis yakin jika umat muslim di seluruh Indonesia mampu bersatu maka bukan hanya membangkitkan Indonesia, melainkan juga mampu membangkitkan peradaban Islam di dunia.  
ISI
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang secara etimologi diterjemahkan , bhineka berarti “beraneka ragam”. Kata neka dalam bahasa Sanskerta yang berarti “macam” atau “aneka”. Kata tunggal berarti “satu” dan ika berarti “itu”. Secara terminologi Bhineka Tunggal Ika diterjemahkan “beraneka satu itu” yang memiliki makna walaupun beraneka ragam namun pada dasarnya bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan.
Di dalam Islam sendiri bahwa Bhineka Tunggal Ika merupakan salah satu ajaran dari Islam dan telah termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya:
 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat ayat 13)
Dari ayat diatas jelas bahwa Allah menyeru kepada umatnya untuk saling mengenal satu sama lain. Karena Allah menciptakan berbagai bangsa dan suku tidak lain untuk kita saling menghormati. Memang dalam ayat tersebut tidak menjelaskan secara gamblang mengenai toleransi dalam perbedaan beragama maupun dalam beraliran, namun disitu ada dijelaskan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Maka secara tidak langsung ini dapat diartikan bahwa tentu ini menyinggung mengenai aliran atau agama. Maka barang siapa yang bertakwa kepada Allah dialah yang paling mulia tidak peduli alirannya apa dalam Islam, dia tetap mulia di sisi Allah selama ia bertakwa kepada Allah.
Itulah kenapa penulis sangat menekankan pada pemahaman masyarakat akan toleransi. Indonesia sendiri merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukannya di mana terdiri dari berbagai pulau, bahasa, ras, suku, adat istiadat atau kebudayaan yang berbeda-beda. Kita sebagai negara majemuk harus menyadari dan mengaplikasikan apa yang terkandung dalam Qs. Al Hujurat ayat 13. Dengan demikian kesadaran akan bhineka tunggal ika serta toleransi harus tertanamkan di setiap individu ataupun kelompok. Mengingat banyak sekali ancaman disintegrasi atau perpecahan yang bersumber oleh kemajemukan berupa pertikaian serta konflik yang tak berkesudahan sebab adanya sikap intoleran antar golongan.
Memperbincangkan masalah konflik serta intoleransi baru-baru ini tanah air kita dikejutkan oleh penolakan dua pendakwah. Pertama yaitu penolakan dakwah terhadap Felix Siauw (aktifis Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap tidak mau menandatangani surat kesetiaan terhadap pancasila. Pada saat itu pendakwah berketurunan etnis cina ini berencana akan mengisi ceramah pengajian di Masjid Manarul Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (4/11). Sementara di Garut juga terjadi penolakan atas Ustadz Bachtiar Nasir yang berencana akan mengisi pengajian di Masjid Agung Garut, Sabtu (11/11).
Konflik saudara inilah yang kerap merusak persatuan umat. Kita tidak sadar bahwa perlahan ancaman disintegrasi atau perpecahan antar golongan maupun umat seakan telah terlihat nyata di dilingkungan kita.
Maka kita sebagai bangsa Indonesia dan umat muslim khususnya haruslah benar-benar menyadari ancaman ini. Kita telah lahir dengan keberagaman maka kita juga harus menjaga keutuhan keberagaman ini. Kita bangsa Indonesia harus menjaga persatuan Indonesia  dan siap bangkit membangun Indonesia yang intelek dan bernafaskan Islam.
Terakhir penulis akan memberikan cuplikan puisi dari Gus Taqi, dengan harapan pembaca mampu memahami bagaimana seharusnya menyikapi sebuah perbedaan dengan membiasakan hidup positif. Berikut puisi ;
Hidup positif itu...
Argumentatif, bukan provokatif
Bergerak cepat, bukan sibuk berdebat
Realistis, bukan fantastis
Mencerdaskan, bukan membodohkan
Menawarkan solusi, bukan mengintimidasi
Berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan
Mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan
Hidup positif itu....
Suka berhikmat, bukan mahir mengumpat
Menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan
Menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari-cari aib dan menyebarkannya
Menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaraan
Mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan
Hidup positif itu....
Memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis
Berletih-letih menanggung problema umat, bukan meletihkan umat
Menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan
Kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran
Siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh
Hidup positif itu....
mencari teman, bukan mencari lawan
Melawan kesesatan, bukan mengotak-atik kebenaran
Asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian
Menampung semua lapisan, bukan memecah belah persatuan
Mengatakan aku cinta kamu, bukan aku benci kamu
Hidup positif itu mengatakan “mari bersama kami”, bukan “kamu harus ikut kami”
Mendatangi, bukan menunggu dipanggil
Saling memaafkan, bukan saling menyalahkan
dari cuplikan puisi di atas dapat dipahami bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sudah saatnya menyatukan barisan umat serta siap kompak dalam menghadapi setiap ancaman. Kita sebagai bangsa Indonesia harus siap berletih-letih menanggung segala permasalahan umat bukan malah menambahi serta meletihkan umat. Besar harapan dengan adanya pemahaman umat Muslim (sebagai kaum mayoritas di Indonesia) terhadap ke-Bhinekaan Indonesia, mampu mendobrak semangat nasionalisme untuk Indonesia yang lebih hebat, untuk Indonesia yang gandrung akan keadilan serta kesejahteraan.
PENUTUP

Tidak terpungkiri bahwa Indonesia ini memiliki banyak sekali keanekaragaman sehingga wajar jika ada konflik antar golongan atau umat. Namun, kita juga harus menyadari bahwa kebersamaan lah yang harusnya kita junjung bersama guna melawan musuh bukan malah sibuk bermusuh-musuhan sesama saudara. Indonesia akan bangkit karena kebersamaan serta rasa senasib sepenanggungan antar umat dan golongan. Begitu juga sebaliknya Indonesia bisa menjadi hancur karena perpecah belahan. Maka dari itu mari bersama-sama membangun persatuan umat untuk menjunjung nilai sila yang ketiga yaitu persatuan Indonesia, juga Mari kita bersama-sama bangkit membangun bangsa dan peradaban Islam dengan saling memahami satu sama lain. Wallahua’lam bishawab.

Rabu, 27 September 2017

pahami toleransi

Layaknya sebuah jalan untuk menuju ke suatu tempat. Tentu kita boleh memilih jalan manakah yang akan kita lalui, apakah jalan A yang mungkin lebih dekat atau mungkin jalan B yang justru mungkin lebih jauh. Begitu juga dengan perihal aliran beragama (Islam). Tentu setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih jalan tersebut.  Ada yang memilih jalan A karena dia tahu kalau jalan A itu jaraknya  lebih dekat jika dibanding dengan B, ada juga yang memilih jalan B karena dia ingin berpetualang atau menikmati pemandangan sepanjang jalan, dan  mungkin ada yang memilih jalan B dengan alasan karena memang dia hanya tahu satu jalan menuju tempat tujuannya.
Bukankah aliran  A ataupun aliran B juga akan sama-sama sampai ke tempat tujuan ? Namun juga perlu kita ingat bahwasannya jalan yang dekat tidak menjamin akan lebih duluan sampai dibanding jalan yang kelihatannya jauh. Tentu saja tergantung tunggangan/kendaraan yang dinaiki oleh si “Safar” atau orang yang sedang berpergian itu. Walaupun jaraknya jauh kalau pakai mobil pembalap tentu akan lebih cepat bukan?  Begitu pula jika yang lewat jalan A (jalan yang lebih dekat) namun hanya berjalan kaki. Tentu butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Begitu pula dengan perihal perbedaan dalam beraliran, entah kita memilih A atau B, cepat atau lambatnya kita menuju Allah, menuju Ridho dan Rahmat-Nya, tentu kita harus bergegas dalam menaati segala peraturan-Nya.  

Bisa dikatakan bahwa kelompok yang fanatik itu sama halnya dengan mereka yang memilih jalan B dengan alasan mereka hanya tahu satu jalan saja untuk mencapai tempat yang dituju dan mengatakan jalan yang lain adalah “salah” karena ketidaktahuannya itu.  Begitu pula bagi mereka yang fanatik dan menganggap aliran agamanya lah yang paling benar. Itu biasanya karena mereka dangkal akan Ilmu Pengetahuan. Toh Allah itu menilai berdasarkan ketakwaan hambanya bukan alirannya, tidak ada dalam al-Qur’an maupun Hadist yang mengatakan bahwa Allah memilih aliran A masuk surga B masuk neraka, yang ada itu mereka yang beragama Islam dan bertakwa kepada Allah pasti akan masuk surga. Yuk sama-sama satukan umat dengan saling memahami dan toleransi.

Kamis, 14 September 2017

Makalah pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi lengkap

Kata Pengantar
Tasawuf merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dengan usaha yang tentu tidaklah mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, mempelajarinya adalah penting bagi setiap umat muslim guna mempererat hablum minallah ( hubungan dengan Allah). Dengan mempelajari dan memahami Ilmu Tasawuf diharapkan tiap individu mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah ini pemakalah akan menyajikan mengenai pengertian baik secara etimologi maupun terminologi dari beberapa referensi yang telah kami kumpulkan. Dengan harapan sumber-sumber yang telah kami kumpulkan ini dalam membantu menyelesaikan pertanyaan mengenai apa sih tasawuf itu. Selanjutnya saya sangat bererimkasih kepada pengarang buku yang kami jadikan referensi juga teman-teman yang telah bersedia membantu menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah diberikan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari Bapak Sudarto, Mpd.I selaku dosen pengampu “Akhlak Tasawuf” juga teman-teman sangat kami nantikan. Sekian.


Salatiga, 09 September 2017



Pemakalah




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul setiap kita membahas tasawuf adalah; apakah tasawuf itu? Apa karakteristik umumnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, perlu dikemukakan bahwa tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkahlaku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.
Meskipun kata tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap kata ini kabur dalam beragam makna yang ada kalanya malah bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf atau mistisisme telah jadi semacam milik bersamaberbagai agama, filsafat, dan kebudayaan, dalam berbagai kurun-masa. Dalam kenyataannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, dini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak bebas dari kemunduran dn kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi ataupun mistikus itu adalah sama. Perbedaan diantara mereka hanyalah karena ketidksamaan interpretasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayaan di masa sang sufi atau mistikus tersebut berafiliasi.
Ada beberapa kekeliruan dari pra ahli ilmu jiwa, yang terfatal ialah anggapan mereka bahwa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisisme itu semacamnya kondisi sakit jiwa. Padahal, apa yang dirasakan seorang sufi atau mistikus di saat-saat tertentu, di saat-saat sementara dia tidak menyadari dirinya sendiri, adalah yang mengakibatkannya menyatakan bahwa alam lahir tidak memiliki realitas sama-sekali. Tentu saja hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk mengatakan bahwa seoarang sufi ataupun mistikus adalah pribadi yang sakit atau tidak waras. Sebab sakit jiwa selalu dibarengi hilangnya kesadaran atas aku secara terus-menurus. Sementara seorang sufi ataupun mistikus sama sekali tidak kehilangan sadar dirinya. Dan kalaupun dia tetap hanya dianggap sebagai peibadi yang sakit, mestinya pun para penyair, penulis, seniman, dan pemusik dianggap sebagai pribadi-pribadi yang juga sakit, karena mereka pun merasakan adanya perasaan-perasaan husus yang tidak dirasakan orang-orang awam.[1]

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi?
2.     Apa pengertian tasawuf dalam Islam?
3.     Apa sejatinya tasawuf itu?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Secara Etimologi dan Terminologi
Tentang asal-usul kata “sufi” itu sendiri, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Dintaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. sementara yang lain menganggap bahwa kata sufi berasal dari shafa (bening), dengan mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basti sebagai berikut:
Tentang sufi orang pun tidak sejalan
Mereka berselisih paham dan dari ‘shuff dikirakan
Pada seseorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali mereka yang bening hati gelar sufi layak disandangkan.
Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari shafwun yang juga berarti bening. Sementara  yang lain menganggap bahwa kata sufi itu berasal dari kata shaff atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya mengatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan oleh pada Ahlus Suffah, sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tinggal dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi, itu berasal dari dari sifat. Sementara pendapat berikutnya menganggap kata itu berasal dari nama seorang penjaga Ka’bah di zaman Jahiliyyah, yaitu Shuffah ibn Murrah. Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa sufi tersebut berasal dari kata Yunani, shopia, yang berarti kebijakan. Namun kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat diatas jauh dari kata tepat. Yang lebih tepat ialah kata sufi (shufi) brasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa al rajul, kalau memakai kain wol. Pada masa awal perkembangan asketisme , pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini, diantaranya al-Sallaj al-Thusi dalam karyanya, al-luma’. Pendapat ini dikokohkan Ibn Khaldun dan lain-lainnya.[2]
Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli, antara lain yaitu :
a.      Imam Junaid dari Baghdad, mendefinisikan sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
b.     Syekh Abul Hasan asy-Syadzili , syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.
c.      Sahal al-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
a.      Syeikh Ahmad  Zorruq dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.[3]

B.    Pengertian Tasawuf dalam Islam
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung berbagai pengertian  yang setiap fasenya hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mungkin ini yang dimaksudkan Ibn al Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “ Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Barangsiapa yang diantaramu  semakin bermoral, tentu, jiwanya pun semakin bening.”
Dengan begitu, jelas pada dasarnya tasawuf berarti moral. Dengan pengertian begini, maka tasawuf juga berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Mengenai aspek moral, dalam al-qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pada keluhuran moral ini, misalnya, dorongan-dorongan asketisme, kesabaran, berserah diri  pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap Muslim sebagai kesempurnaan Iman. Al-qur’an sendiri menyatakan bahwa Rasulullah saw adalah suri-teladan yang terbaikbagi orang yang hendak hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur.
Dalam kenyataannya, moral Islam adalah landasan syari’at Islam. Sehingga ketiadaan moral dalam hukum-hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum di dalam aqidah ataupun fiqh, akan membuat hukum tersebut menjadi semacam bentuk tanpa jiwa atau wadah tanpa isi.
Keluhuran moral para warga masyarakat tidak akan terwujud hanya dengan membuat undang-undang, hukum serta menjatuhkan denda. Tetapi ia baru terwujud apabila dalam diri setiap warga masyarakat terdapat kehendak untuk melakukan perbaikan budi pekerti. Firman Allah: “ Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” serta, “Dan, bahwasannya, seorang manusia tidak akan memperoleh  selain yang telah diusahakannya.”
Karena menyadari  pentingnya landasan moral dari agama inilah, maka para sufi begitu menaruh perhatian terhadapnya, dan membuat mereka berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak dibarengi rasa taqwa terhadap Allah dan pengetahuan mengenai-Nya, tidak akan berarti dan bermanfaat tidak sukar menimba banyak ilmu lewat buku, tetapi untuk memiliki moral yang baik, akan melalui perjuangan yang sulit. Hal ini karen moral yang baik itu adalah hasil dari praktek-praktek berat dan konflik setiap manusia dengan hawa nafsunya sendiri, yang kalau dia lulus akhirnya membuatnya selalu konsisten pada kebenaran. Karena itu para sufi, dalam pembahasan mereka terhadap moral, yang merupakan substansi agama, mereka lalu mengembangkan Ilmu yang mandiri, yang merupakan pendukung ilmu kalam dan ilmu fiqh. Oleh kaum Muslimin sendiri, ilmu ini kemudian dipandang sebagai salah satu dari ilmu-ilmu agama, yang berdasarkan pada al-qur’an dan as-sunnah. Ibn Khaldun telah berkta: “Ilmu tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam agama (Islam) cikal bakalnya, bermula dari generasi pertama ummat (Islam), baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah,  penghadapan diri sepenuhnya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjuhan diri dari kelezatan, harta, dan pangkat yang dikejar-kejar orang banyak, dan pemisahan diri dari orang lain untuk bersendiri dan beribadah. Dan hal seperti ini adalah biasa dalam kalangan sahabat dan generasi setelahnya. Lalu pada abad kedua Hijriyah, ketika penghidupan duniawi semakin semarak di kalangan orang-orang, ketika mereka hanya cenderung bergelut dengan hal-hal keduniaan, maka orang-orang yang lebh mengkonsentrasikan diri pada ibadah itu digelari sufi.”.
Dari uraian Ibn Khaldun di atas tampak jelas bahwa tasawuf dalam Islam, sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam.[4]

C.    Apa Sejatinya Tasawuf Itu?
Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah tasawuf. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena dianggap kaum sufi  berada dalam shaff pertama. Atau shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni par Zahid (pezuhud) dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir ibnHayyan seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Qur’an tentang penyucian hati.
Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan-Nya) ... Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-9).
Kata menyucikan (zakka) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasawuf istilah ini biasa disinonimkan dengan tashfiah lagi sebuah kata benda bentukan (mashdar) dari akarkata shafa’.
Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah) spiritual psikologis, keilmuan dan jasmaniah yng dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.
Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi:”Di dalam diri manusia ada segumpal organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri yang dimilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayatkan mengatakan: “ Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. Yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, sebaliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini bagaikan berkarat dan dikuasai oeh penyakit. Tasawuf, ebagaimana dikatakan diatas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al nfs al ammarah bi al-su’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu.[5]












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.











DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Diterjemahkan oleh: Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Tasawuf. Jakarta : Mizan.
http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html



[1] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.1
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.21
[3] http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.10-15
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), hal. 89-93.