Kata Pengantar
Tasawuf
merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dengan usaha
yang tentu tidaklah mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, mempelajarinya adalah
penting bagi setiap umat muslim guna mempererat hablum minallah ( hubungan
dengan Allah). Dengan mempelajari dan memahami Ilmu Tasawuf diharapkan tiap
individu mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
makalah ini pemakalah akan menyajikan mengenai pengertian baik secara etimologi
maupun terminologi dari beberapa referensi yang telah kami kumpulkan. Dengan
harapan sumber-sumber yang telah kami kumpulkan ini dalam membantu
menyelesaikan pertanyaan mengenai apa sih tasawuf itu. Selanjutnya saya sangat
bererimkasih kepada pengarang buku yang kami jadikan referensi juga teman-teman
yang telah bersedia membantu menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang
telah diberikan.
Kami
sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, maka dari
itu kritik dan saran dari Bapak Sudarto, Mpd.I selaku dosen pengampu “Akhlak
Tasawuf” juga teman-teman sangat kami nantikan. Sekian.
Salatiga, 09 September 2017
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul setiap kita membahas tasawuf adalah;
apakah tasawuf itu? Apa karakteristik umumnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, perlu dikemukakan
bahwa tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam
tingkahlaku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral,
pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.
Meskipun kata tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan
hal itu pengertian terhadap kata ini kabur dalam beragam makna yang ada kalanya
malah bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf atau mistisisme telah jadi
semacam milik bersamaberbagai agama, filsafat, dan kebudayaan, dalam berbagai
kurun-masa. Dalam kenyataannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang
berkembang di tengah masyarakatnya, dini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak
bebas dari kemunduran dn kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya
pengalaman para sufi ataupun mistikus itu adalah sama. Perbedaan diantara
mereka hanyalah karena ketidksamaan interpretasi atas pengalaman itu sendiri,
karena pengaruh kebudayaan di masa sang sufi atau mistikus tersebut
berafiliasi.
Ada beberapa kekeliruan dari pra ahli ilmu jiwa, yang terfatal
ialah anggapan mereka bahwa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisisme itu
semacamnya kondisi sakit jiwa. Padahal, apa yang dirasakan seorang sufi atau
mistikus di saat-saat tertentu, di saat-saat sementara dia tidak menyadari
dirinya sendiri, adalah yang mengakibatkannya menyatakan bahwa alam lahir tidak
memiliki realitas sama-sekali. Tentu saja hal ini tidak bisa menjadi alasan
untuk mengatakan bahwa seoarang sufi ataupun mistikus adalah pribadi yang sakit
atau tidak waras. Sebab sakit jiwa selalu dibarengi hilangnya kesadaran atas aku
secara terus-menurus. Sementara seorang sufi ataupun mistikus sama sekali tidak
kehilangan sadar dirinya. Dan kalaupun dia tetap hanya dianggap sebagai peibadi
yang sakit, mestinya pun para penyair, penulis, seniman, dan pemusik dianggap
sebagai pribadi-pribadi yang juga sakit, karena mereka pun merasakan adanya
perasaan-perasaan husus yang tidak dirasakan orang-orang awam.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi?
2.
Apa pengertian
tasawuf dalam Islam?
3.
Apa
sejatinya tasawuf itu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tasawuf Secara Etimologi dan Terminologi
Tentang
asal-usul kata “sufi” itu sendiri, terdapat beberapa pendapat yang berbeda.
Dintaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya
semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. sementara
yang lain menganggap bahwa kata sufi berasal dari shafa (bening), dengan
mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basti sebagai berikut:
Tentang
sufi orang pun tidak sejalan
Mereka
berselisih paham dan dari ‘shuff dikirakan
Pada
seseorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali
mereka yang bening hati gelar sufi layak disandangkan.
Ada
yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari shafwun yang juga
berarti bening. Sementara yang lain
menganggap bahwa kata sufi itu berasal dari kata shaff atau barisan,
sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya
mengatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan oleh pada Ahlus Suffah, sekelompok
kaum Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tinggal dalam ruangan tersebut
dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi, itu berasal dari dari
sifat. Sementara pendapat berikutnya menganggap kata itu berasal dari
nama seorang penjaga Ka’bah di zaman Jahiliyyah, yaitu Shuffah ibn Murrah.
Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa sufi tersebut berasal dari kata
Yunani, shopia, yang berarti kebijakan. Namun kajian ilmiah membuktikan
bahwa semua pendapat diatas jauh dari kata tepat. Yang lebih tepat ialah kata
sufi (shufi) brasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa
al rajul, kalau memakai kain wol. Pada masa awal perkembangan asketisme ,
pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para
sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini, diantaranya al-Sallaj al-Thusi
dalam karyanya, al-luma’. Pendapat ini dikokohkan Ibn Khaldun dan lain-lainnya.[2]
Sedangkan
menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli,
antara lain yaitu :
a.
Imam
Junaid dari Baghdad, mendefinisikan sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan
meninggalkan setiap sifat rendah”.
b. Syekh Abul Hasan asy-Syadzili , syekh sufi besar dari
Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui
cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.
c. Sahal al-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan “ orang
yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan
manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
a. Syeikh Ahmad Zorruq dari Maroko mendefinisikan tasawuf
sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu
sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan,
mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada
Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju
kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.[3]
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.[3]
B.
Pengertian
Tasawuf dalam Islam
Tasawuf
dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang
dilewatinya terkandung berbagai pengertian
yang setiap fasenya hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja. Meskipun
begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu
bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mungkin ini
yang dimaksudkan Ibn al Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “ Para pembahas
ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Barangsiapa yang
diantaramu semakin bermoral, tentu,
jiwanya pun semakin bening.”
Dengan begitu,
jelas pada dasarnya tasawuf berarti moral. Dengan pengertian begini, maka
tasawuf juga berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan
landasan moral.
Mengenai
aspek moral, dalam al-qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pada keluhuran
moral ini, misalnya, dorongan-dorongan asketisme, kesabaran, berserah diri pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup
sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap Muslim sebagai
kesempurnaan Iman. Al-qur’an sendiri menyatakan bahwa Rasulullah saw adalah
suri-teladan yang terbaikbagi orang yang hendak hendak menyempurnakan diri
dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur.
Dalam
kenyataannya, moral Islam adalah landasan syari’at Islam. Sehingga ketiadaan
moral dalam hukum-hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum di
dalam aqidah ataupun fiqh, akan membuat hukum tersebut menjadi semacam bentuk
tanpa jiwa atau wadah tanpa isi.
Keluhuran moral
para warga masyarakat tidak akan terwujud hanya dengan membuat undang-undang,
hukum serta menjatuhkan denda. Tetapi ia baru terwujud apabila dalam diri
setiap warga masyarakat terdapat kehendak untuk melakukan perbaikan budi
pekerti. Firman Allah: “ Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum,
sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” serta, “Dan,
bahwasannya, seorang manusia tidak akan memperoleh selain yang telah diusahakannya.”
Karena
menyadari pentingnya landasan moral dari
agama inilah, maka para sufi begitu menaruh perhatian terhadapnya, dan membuat
mereka berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak dibarengi rasa taqwa terhadap
Allah dan pengetahuan mengenai-Nya, tidak akan berarti dan bermanfaat tidak
sukar menimba banyak ilmu lewat buku, tetapi untuk memiliki moral yang baik,
akan melalui perjuangan yang sulit. Hal ini karen moral yang baik itu adalah
hasil dari praktek-praktek berat dan konflik setiap manusia dengan hawa
nafsunya sendiri, yang kalau dia lulus akhirnya membuatnya selalu konsisten
pada kebenaran. Karena itu para sufi, dalam pembahasan mereka terhadap moral,
yang merupakan substansi agama, mereka lalu mengembangkan Ilmu yang mandiri,
yang merupakan pendukung ilmu kalam dan ilmu fiqh. Oleh kaum Muslimin sendiri,
ilmu ini kemudian dipandang sebagai salah satu dari ilmu-ilmu agama, yang
berdasarkan pada al-qur’an dan as-sunnah. Ibn Khaldun telah berkta: “Ilmu
tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam agama (Islam) cikal
bakalnya, bermula dari generasi pertama ummat (Islam), baik dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan
petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, penghadapan diri sepenuhnya kepada Allah,
penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjuhan diri dari kelezatan,
harta, dan pangkat yang dikejar-kejar orang banyak, dan pemisahan diri dari
orang lain untuk bersendiri dan beribadah. Dan hal seperti ini adalah biasa
dalam kalangan sahabat dan generasi setelahnya. Lalu pada abad kedua Hijriyah,
ketika penghidupan duniawi semakin semarak di kalangan orang-orang, ketika
mereka hanya cenderung bergelut dengan hal-hal keduniaan, maka orang-orang yang
lebh mengkonsentrasikan diri pada ibadah itu digelari sufi.”.
Dari
uraian Ibn Khaldun di atas tampak jelas bahwa tasawuf dalam Islam, sebagai ilmu
agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang
merupakan substansi Islam.[4]
C.
Apa
Sejatinya Tasawuf Itu?
Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal
istilah tasawuf. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan
kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat)
karena dianggap kaum sufi berada dalam
shaff pertama. Atau shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa
mencirikan pakaian kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni par Zahid
(pezuhud) dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi
masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang
memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang
lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin,
yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir ibnHayyan seorang alkemis
yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah
ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi,
ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai
definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian
ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan
ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apapun dirujukkan,
semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada
gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Qur’an tentang penyucian hati.
Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan-Nya) ... Telah berjayalah
orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang
menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams
[91]: 7-9).
Kata menyucikan (zakka) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar
kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah
al-nafs (penyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasawuf istilah
ini biasa disinonimkan dengan tashfiah lagi sebuah kata benda bentukan
(mashdar) dari akarkata shafa’.
Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya
untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah) spiritual psikologis, keilmuan
dan jasmaniah yng dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati
sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.
Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang
berbunyi:”Di dalam diri manusia ada segumpal organ tersebut, maka baiklah semua
diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri yang
dimilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayatkan
mengatakan: “ Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu
titik hitam dalam hatinya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka
makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat
diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi
dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah
Swt. Yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka,
sebaliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti
ini bagaikan berkarat dan dikuasai oeh penyakit. Tasawuf, ebagaimana dikatakan
diatas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al nfs al
ammarah bi al-su’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar
kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tasawuf
itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk
membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan
(taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya
tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami. Sufi Dari Zaman ke Zaman.
Diterjemahkan oleh: Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Bagir,
Haidar. 2006. Buku Saku Tasawuf. Jakarta : Mizan.
http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html
[1] Abu al-Wafa’
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.1
[2] Abu al-Wafa’
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.21
[4] Abu al-Wafa’
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit
Pustaka,1985),hal.10-15
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), hal.
89-93.
Casino Tycoon Map & Floor Plans - Mapyro
BalasHapusCasino 창원 출장마사지 Tycoon Floor Plans in San Diego, 김포 출장샵 CA. Compare floor plans of 경상북도 출장안마 over 20 different casinos in San Diego. Find the closest casino 충청남도 출장샵 to 부산광역 출장안마 you and where