Kamis, 14 September 2017

Makalah pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi lengkap

Kata Pengantar
Tasawuf merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dengan usaha yang tentu tidaklah mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, mempelajarinya adalah penting bagi setiap umat muslim guna mempererat hablum minallah ( hubungan dengan Allah). Dengan mempelajari dan memahami Ilmu Tasawuf diharapkan tiap individu mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah ini pemakalah akan menyajikan mengenai pengertian baik secara etimologi maupun terminologi dari beberapa referensi yang telah kami kumpulkan. Dengan harapan sumber-sumber yang telah kami kumpulkan ini dalam membantu menyelesaikan pertanyaan mengenai apa sih tasawuf itu. Selanjutnya saya sangat bererimkasih kepada pengarang buku yang kami jadikan referensi juga teman-teman yang telah bersedia membantu menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah diberikan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari Bapak Sudarto, Mpd.I selaku dosen pengampu “Akhlak Tasawuf” juga teman-teman sangat kami nantikan. Sekian.


Salatiga, 09 September 2017



Pemakalah




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul setiap kita membahas tasawuf adalah; apakah tasawuf itu? Apa karakteristik umumnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, perlu dikemukakan bahwa tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkahlaku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.
Meskipun kata tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap kata ini kabur dalam beragam makna yang ada kalanya malah bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf atau mistisisme telah jadi semacam milik bersamaberbagai agama, filsafat, dan kebudayaan, dalam berbagai kurun-masa. Dalam kenyataannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, dini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak bebas dari kemunduran dn kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi ataupun mistikus itu adalah sama. Perbedaan diantara mereka hanyalah karena ketidksamaan interpretasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayaan di masa sang sufi atau mistikus tersebut berafiliasi.
Ada beberapa kekeliruan dari pra ahli ilmu jiwa, yang terfatal ialah anggapan mereka bahwa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisisme itu semacamnya kondisi sakit jiwa. Padahal, apa yang dirasakan seorang sufi atau mistikus di saat-saat tertentu, di saat-saat sementara dia tidak menyadari dirinya sendiri, adalah yang mengakibatkannya menyatakan bahwa alam lahir tidak memiliki realitas sama-sekali. Tentu saja hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk mengatakan bahwa seoarang sufi ataupun mistikus adalah pribadi yang sakit atau tidak waras. Sebab sakit jiwa selalu dibarengi hilangnya kesadaran atas aku secara terus-menurus. Sementara seorang sufi ataupun mistikus sama sekali tidak kehilangan sadar dirinya. Dan kalaupun dia tetap hanya dianggap sebagai peibadi yang sakit, mestinya pun para penyair, penulis, seniman, dan pemusik dianggap sebagai pribadi-pribadi yang juga sakit, karena mereka pun merasakan adanya perasaan-perasaan husus yang tidak dirasakan orang-orang awam.[1]

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi?
2.     Apa pengertian tasawuf dalam Islam?
3.     Apa sejatinya tasawuf itu?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Secara Etimologi dan Terminologi
Tentang asal-usul kata “sufi” itu sendiri, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Dintaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. sementara yang lain menganggap bahwa kata sufi berasal dari shafa (bening), dengan mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basti sebagai berikut:
Tentang sufi orang pun tidak sejalan
Mereka berselisih paham dan dari ‘shuff dikirakan
Pada seseorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali mereka yang bening hati gelar sufi layak disandangkan.
Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari shafwun yang juga berarti bening. Sementara  yang lain menganggap bahwa kata sufi itu berasal dari kata shaff atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya mengatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan oleh pada Ahlus Suffah, sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tinggal dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi, itu berasal dari dari sifat. Sementara pendapat berikutnya menganggap kata itu berasal dari nama seorang penjaga Ka’bah di zaman Jahiliyyah, yaitu Shuffah ibn Murrah. Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa sufi tersebut berasal dari kata Yunani, shopia, yang berarti kebijakan. Namun kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat diatas jauh dari kata tepat. Yang lebih tepat ialah kata sufi (shufi) brasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa al rajul, kalau memakai kain wol. Pada masa awal perkembangan asketisme , pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini, diantaranya al-Sallaj al-Thusi dalam karyanya, al-luma’. Pendapat ini dikokohkan Ibn Khaldun dan lain-lainnya.[2]
Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli, antara lain yaitu :
a.      Imam Junaid dari Baghdad, mendefinisikan sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
b.     Syekh Abul Hasan asy-Syadzili , syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.
c.      Sahal al-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
a.      Syeikh Ahmad  Zorruq dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.[3]

B.    Pengertian Tasawuf dalam Islam
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung berbagai pengertian  yang setiap fasenya hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mungkin ini yang dimaksudkan Ibn al Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “ Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Barangsiapa yang diantaramu  semakin bermoral, tentu, jiwanya pun semakin bening.”
Dengan begitu, jelas pada dasarnya tasawuf berarti moral. Dengan pengertian begini, maka tasawuf juga berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Mengenai aspek moral, dalam al-qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pada keluhuran moral ini, misalnya, dorongan-dorongan asketisme, kesabaran, berserah diri  pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap Muslim sebagai kesempurnaan Iman. Al-qur’an sendiri menyatakan bahwa Rasulullah saw adalah suri-teladan yang terbaikbagi orang yang hendak hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur.
Dalam kenyataannya, moral Islam adalah landasan syari’at Islam. Sehingga ketiadaan moral dalam hukum-hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum di dalam aqidah ataupun fiqh, akan membuat hukum tersebut menjadi semacam bentuk tanpa jiwa atau wadah tanpa isi.
Keluhuran moral para warga masyarakat tidak akan terwujud hanya dengan membuat undang-undang, hukum serta menjatuhkan denda. Tetapi ia baru terwujud apabila dalam diri setiap warga masyarakat terdapat kehendak untuk melakukan perbaikan budi pekerti. Firman Allah: “ Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” serta, “Dan, bahwasannya, seorang manusia tidak akan memperoleh  selain yang telah diusahakannya.”
Karena menyadari  pentingnya landasan moral dari agama inilah, maka para sufi begitu menaruh perhatian terhadapnya, dan membuat mereka berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak dibarengi rasa taqwa terhadap Allah dan pengetahuan mengenai-Nya, tidak akan berarti dan bermanfaat tidak sukar menimba banyak ilmu lewat buku, tetapi untuk memiliki moral yang baik, akan melalui perjuangan yang sulit. Hal ini karen moral yang baik itu adalah hasil dari praktek-praktek berat dan konflik setiap manusia dengan hawa nafsunya sendiri, yang kalau dia lulus akhirnya membuatnya selalu konsisten pada kebenaran. Karena itu para sufi, dalam pembahasan mereka terhadap moral, yang merupakan substansi agama, mereka lalu mengembangkan Ilmu yang mandiri, yang merupakan pendukung ilmu kalam dan ilmu fiqh. Oleh kaum Muslimin sendiri, ilmu ini kemudian dipandang sebagai salah satu dari ilmu-ilmu agama, yang berdasarkan pada al-qur’an dan as-sunnah. Ibn Khaldun telah berkta: “Ilmu tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam agama (Islam) cikal bakalnya, bermula dari generasi pertama ummat (Islam), baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah,  penghadapan diri sepenuhnya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjuhan diri dari kelezatan, harta, dan pangkat yang dikejar-kejar orang banyak, dan pemisahan diri dari orang lain untuk bersendiri dan beribadah. Dan hal seperti ini adalah biasa dalam kalangan sahabat dan generasi setelahnya. Lalu pada abad kedua Hijriyah, ketika penghidupan duniawi semakin semarak di kalangan orang-orang, ketika mereka hanya cenderung bergelut dengan hal-hal keduniaan, maka orang-orang yang lebh mengkonsentrasikan diri pada ibadah itu digelari sufi.”.
Dari uraian Ibn Khaldun di atas tampak jelas bahwa tasawuf dalam Islam, sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam.[4]

C.    Apa Sejatinya Tasawuf Itu?
Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah tasawuf. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena dianggap kaum sufi  berada dalam shaff pertama. Atau shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni par Zahid (pezuhud) dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir ibnHayyan seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Qur’an tentang penyucian hati.
Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan-Nya) ... Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-9).
Kata menyucikan (zakka) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasawuf istilah ini biasa disinonimkan dengan tashfiah lagi sebuah kata benda bentukan (mashdar) dari akarkata shafa’.
Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah) spiritual psikologis, keilmuan dan jasmaniah yng dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.
Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi:”Di dalam diri manusia ada segumpal organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri yang dimilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayatkan mengatakan: “ Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. Yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, sebaliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini bagaikan berkarat dan dikuasai oeh penyakit. Tasawuf, ebagaimana dikatakan diatas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al nfs al ammarah bi al-su’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu.[5]












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.











DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Diterjemahkan oleh: Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Tasawuf. Jakarta : Mizan.
http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html



[1] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.1
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.21
[3] http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.10-15
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), hal. 89-93.

1 komentar:

  1. Casino Tycoon Map & Floor Plans - Mapyro
    Casino 창원 출장마사지 Tycoon Floor Plans in San Diego, 김포 출장샵 CA. Compare floor plans of 경상북도 출장안마 over 20 different casinos in San Diego. Find the closest casino 충청남도 출장샵 to 부산광역 출장안마 you and where

    BalasHapus