Minggu, 17 Desember 2017

Santri Generasi Milenial dalam Kancah Geo-digital dan Globalisasi
Oleh: Lilis Siti Fatimah
PENDAHULUAN
 “Santri kalau pulang harus bisa menjadi paku yang bisa menyatukan berbagai lapis masyarakat meski dianya sendiri tak terlihat.”
~ KH. Abdul Aziz Mansur~

Begitulah santri, dimanapun mereka berada maka harus siap menyumbangkan baik raga maupun pikirannya untuk bangsa dan umat—karena santri bukanlah mereka yang hanya pintar ngaji namun santri adalah mereka yang mampu berkontribusi untuk negeri. Membicarakan kontribusi santri, kita flashback terhadap sejarah bangsa bahwa basis perlawanan terhadap kaum imperialis (penjajah) justru dari pondok pesantren. Dimana jika para kyai dan santri pada hari itu tidak tampil total melawan penjajah kemungkinan besar pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia belum merdeka, Sehingga pada tahun 2014 hari santri telah ditetapkan tepat pada hari revolusi jihad yang alhamdulillah telah diakui oleh negara betapa peran santri terhadap terbentuknya sebuah negara NKRI itu sangat besar yaitu tanggal 22 Oktober yang langsung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Pada hari santri yang pertama Jendral TNI Gatot Nurmantyo menyatakan dalam salah satu pidatonya bahwa kemerdekaan bukanlah hasil perjuangan dari TNI melainkan seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali dari pondok pesantren yaitu para kyai dan santri. Jika dulu lawan kita adalah penjajah maka sekarang lawan kita adalah perubahan zaman yang begitu cepat menjangkit keseluruh elemen kehidupan bermasyarakat. Kita hidup pada era globalisasi dan modernisasi dimana kita tidak mampu membendung sepenuhnya. Namun, di era seperti inilah para kyai dan pelaku pendidikan berbasis pondok pesantren dan Islam berusaha keras untuk tetap memperjuangkan kemerdekaan NKRI dengan menanamkan nilai-nilai keislaman serta peran penting terhadap agama dan bangsa.
Masalah selanjutnya yang sekarang kita hadapi adalah masuknya budaya-budaya westernisasi yang mulai merambah di seluruh kalangan masyarakat Indonesia terutama kalangan pemuda yaitu berupa gaya hidup yang cenderung hedonism serta cara berpakaian yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Hal tersebut tentu menjadi tantangan yang paling utama bagi kita. Maka dari situlah pondok pesantren dan yayasan maupun lembaga-lembaga Islam adalah solusi yang paling tepat dalam berperan memerangi budaya-budaya barat yang seolah telah menjadi kiblat tren khalayak zaman sekarang.
Masalah-masalah tersebut tentu dapat diatasi atau setidaknya diminimalisir tentunya melalui para intelektual, seluruh lapisan masyarakat serta sesuai dengan pembahasan kali ini yaitu santri. Dari sebuah data Kementerian Agama mencatat jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta orang yang tersebar di 25.000 pondok pesantren. Artinya pesantren dan santri merupakan elemen penting dalam kehidupan bernegara dan aset bagi kemajuan bangsa, menara62.com (05/2017). Jumlah yang sangat banyak untuk menjadi pendobrak semangat nasionalisme bangsa dalam sebuah pergerakan-pergerakan melawan para penjajah otak kita yang bersembunyi melalui teknologi berupa Hp, komputer, internet dsb. Namun hal tersebut hanya akan menjadi sekadar harapan ketika kita para santri malah diam terjerat arus digitalisasi di era modern ini.
Dalam hal ini pendidikan berbasis Islam sangat penting guna mengatasi problematika bangsa dan umat. KH. Akhmad Sa’id Asrori menyatakan dalam salah satu ceramahnya pada acara akhirussanah di Ma’had IAIN Salatiga (05/17) bahwa dulu tidak ada yang namanya SD, SMP dan SMA. Pendidikan di Indonesia ini merupakan bawaan sistem para penjajah dimana mereka para akademisi yang lulus kemudian menjadi pejabat dan politisi baik di daerah maupun pusat rata-rata menjadi koruptor. Bisa kita lihat dari berapa banyak hari ini para DPR yang di penjara, berapa banyak para bupati, gubernur dan walikota yang hari ini masuk penjara. Itu karena mereka dididik dengan mental-mental penjajah yaitu memeras kekayaan bangsa, mengeksploitasi dan menghianati rakyat. Sehingga kita dapat melihat baik para politisi maupun non politisi mereka  seakan menjadi the next generation of imperialis atau penerus penjajah yang omong kosong, yaitu omong kosong ketika mereka mengatakan akan memperbaiki Indonesia, omong kosong ketika mereka mengatakan memahami Indonesia, omong kosong ketika mereka mengatakan mencintai Indonesia. Karena sesungguhnya mereka adalah para mental penjajah.

Dikarenakan permasalahan-permasalahan itu lah santri yaitu para alim ulama serta tokoh-tokoh agama di Indonesia mendirikan sistem pendidikan pondok pesantren serta madrasah-madrasah dengan harapan mental-mental penjajah serta arus globalisasi ini mampu dibendung dengan nilai-nilai Islam yang ditanamkan kepada para santri Indonesia.
ISI
Generasi milenial adalah orang-orang yang lahir antara tahun1982 hingga 1996 -- ada yang menyebut 2000 – dan hari ini berusia antara 21 sampai 35 tahun, Republika (19/10). Generasi milenial juga sering disebut sebagai generasi digital dimana mereka lahir pada saat teknologi-teknologi canggih berkembang seperti televisi berwarna, handphone dengan berbagai fitur dan internet sehingga mereka dianggap  sebagai generasi yang pandai dalam berteknologi. ini merupakan ancaman sekaligus tantangan bagi Indonesia—ancaman ketika kita sebagai generasi bangsa Indonesia diam tidak mampu bersaing dan justru ikut arus tanpa menyaringnya. Kemudian akan menjadi tantangan ketika kita generasi penerus sekaligus cendekia muslim mampu memanfaatkan teknologi sebagai alat mencapai tujuan bangsa.
Source: google

Hasil survey 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa hasil statistik pengguna internet Indonesia terbanyak adalah generasi Mileneal. Dan yang penulis sangat sayangkan hasil survey APJII juga menyatakan bahwa konten media sosial yang paling sering dikunjungi adalah facebook dengan jumlah 54% atau setara dengan 71,6 juta pengguna dan tertinggi kedua yaitu instagram dengan presentase 15% atau setara dengan 19,9 juta pengguna. Sedangkan berdasarkan konten komersial yang sering dikunjungi adalah onlineshop dengan presentase 62% atau setara dengan 82,2 juta pengunjung. Dengan hasil presentase tersebut diketahui bahwa Indonesia menjadi salah satu negara pengguna internet terbesar dan paling mudah untuk ditembus oleh pasaran global.
Kita lihat betapa pengaruh digitalisasi yaitu pengaruh teknologi yang begitu memberikan dampak negatif kepada generasi bangsa mulai dari anak-anak maupun dewasa, baik masyarakat awam maupun akademisi yang dibuktikan melalui maraknya berita di media sosial yang hampir setiap minggu menginformasikan terjadinya kriminalitas yang tidak lain bersumber pada penyalahgunaan teknologi dan juga internet. Di era digital ini kalangan mahasiswa dimana salah satu perannya sebagai iron stock (generasi penerus) juga tidak lepas dari penyakit pembodohan dari teknologi. Mereka mahasiswa yang katanya kaum inteletual sekarang seakan menjadi kaum plagiat yang paling handal. Itu karena otak mereka telah dicuci dengan segala sesuatu yang serba mudah dan instan sehingga mereka menjadi generasi pemuda yang malas, cenderung apatis dan sangat mudah dipengaruhi. Dari situlah peran pendidikan berbasis islam sangat dibutuhkan oleh Indonesia guna mencetak generasi-generasi yang siap dan tanggap terhadap baik problematika bangsa maupun umat.
Gaya hidup westernisasi atau kebarat-baratan memang akhir-akhir ini sedang eksis di negara kita. Para anak muda generasi muslim pada umumnya sudah lupa dengan budaya Islam itu sendiri. Budaya barat sekarang dibilang modern sedangkan budaya sendiri dikata kuno sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Dikarenaan penulis sendiri adalah seorang santri maka penulis berani mengatakan bahwa siapa saja kalau jiwanya sudah jiwa santri akhlaknya akhlak santri maka tidak akan dengan mudah mengikuti budaya-budaya yang tidak sesuai dengan baik kepribadian bangsa maupun syariat Islam. Mereka santri pasti akan menyaringnya karena santri sudah diajarkan syariat, diajarkan cara bergaul yang baik, berpakaian yang benar bahkan sampai hal kecil pun seperti makan Islam telah mengaturnya—jadi santri tidak ada ceritanya ikut-ikutan budaya barat. Jika iya di pondok pesantren atau instasi berbasis islam ada santri yang cenderung hedonis serta mengikuti kebarat-baratan saya katakan itu bukan santri melainkan ibarat botol sprite berisi air putih, kelihatannya saja sprite tapi pada dasarnya hanya air putih biasa. Begitu juga dengan santri abal-abal mereka hanya label-nya saja yang santri tapi jiwanya belum santri. Begitu juga dengan siapapun yang akhlaknya seperti santri maka dia adalah santri sesungguhnya.       
Ketika zaman kolonial kita telah mengetahui bahwa santri merupakan bagian dari komponen penting dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia. banyak  Organisasi Islam yang didirikan oleh kalangan santri seperti NU yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari, Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan, Sarekat Islam yang didirikan oleh HOS Cokroaminoto dsb. Dimana organisasi tersebut merupakan basis perlawanan dalam membebaskan Indonesia dari jajahan para kaum Imperealis. Ambil saja satu contoh ketika Jepang membuat sebuah kebijakan bahwa ketika matahari terbit yaitu sekitar pukul tujuh pagi bangsa Indonesia dipaksa untuk memujanya dengan membungkukkan setengah badan. Sehingga muncullah perlawanan-perlawanan dari pondok pesantren, yang paling terkenal yaitu pemberontakan KH Zainal Mustofa. Walaupun tidak jarang bentuk perlawanan-perlawanan tersebut menjadikan mereka sebagai sasaran kebiadaban kaum imperialis waktu itu . Namun, dari situlah perwujudan nyata semangat nasionalisme yang tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia. Jika kita amati semua itu merupakan perwujudan dari pendidikan santri yang mampu menanamkan nilai-nilai patriotisme dalam jiwa untuk bangsa hingga sampai saat ini. dimana mereka telah ditempa supaya mempunyai jiwa pemimpin yang siap berletih-letih menanggung problema umat bukan menyulitkan umat.
Namun bagaimanakah dengan sistem pendidikan sekarang?
Beliau KH Zainuddin MZ mengatakan bahwa sistem pendidikan kita di Indonesia Cuma mengisi otak bukan membentuk watak. Otak diisi berbagai ilmu tapi hati kosong, agama rapuh akhirnya moral rendah. Muncul manusia-manusia yang pintar. Cuma saayang tidak benar, Indonesia kita bangkrut, Indonesia kita terpuruk, Indonesia kita sakit saat ini. Kan ulah orang-orang yang pinter tapi tidak bener. Begitulah wajah sistem pendidikan di Indonesia.
Dewasa ini sekolah-sekolah di Indonesia seakan bukan lagi sebagai wadah pendidikan melainkan sekadar wadah transfer ilmu pengetahuan tanpa memberi sebuah pemahaman terhadap peserta didik. Sehingga banyak generasi Indonesia lulus dari sarjana, doktoral bahkan mereka yang telah bergelar profesor sekalipun berakhir menjadi pengkhianat bangsa. Mereka menggerogoti hak milik rakyat bak anjing yang tak pernah diberi makan. Bagaimana seorang doktor dan profesor melakukan pengkhianatan yang luar biasa? ketika dalam diskusi kelas maupun organisasi penulis sering bertanya pada teman-teman “apakah kalian sudah puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah serta sistem pendidikan di Indonesia?’ rata-rata dari mereka mengatakan tidak puas. Inilah hasil proses dari pendidikan di Indonesia dimana sistemnya masih merupakan sistem para penjajah sehingga melahirkan pemimpin yang juga bermental-mental penjajah.
Sehingga kehadiran pondok pesantren serta madrasah-madrasah mulai dari tingkat Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah merupakan benteng bagi generasi Indonesia muslim pada umumnya dalam memerangi dan mencegah munculnya para pemimpin bermental penjajah. Di pondok pesantren serta madrasah-madrasah inilah peran ulama serta tokoh-tokoh pendidikan Islam dapat dilihat dengan sebuah aksi nyata dimana santri diajarkan menjadi sosok uswatun hasanah (pemberi contoh yang baik) bagi umat dan bangsa serta siap menjadi pemimpin yang ikhlas hanya mengharap ridho Allah. Karena siapa saja kalau melakukan segala sesuatu orientasinya sudah ridho Allah insya Allah penulis jamin orang tersebut tidak bakalan korupsi—tidak akan yang namanya mengkhianati bangsa.
PENUTUP
Santri adalah proses yang akan menjadi hasil dari sebuah sistem pendidikan sukses di Indonesia. Gus Mus mengatakan bahwa santri bukan yang mondok saja tapi siapapun yang berakhlak seperti santri dialah santri. Akhlak santri dalam artian yaitu mereka yang sederhana bukan hura-hura (hedonis), argumentatif bukan profokatif, agent of change bukan following of change, iron stock bukan ikutan shock (terguncang), menjadi kontributor bangsa bukan menjadi koruptor bangsa. Maka dari itu mereka santri—cendekiawan Muslim sangatlah dibutuhkan peran sertanya dalam membangun NKRI di kancah geo-digital dan juga era globalisasi ini. Maka dari itu besar harapan dari sekilas esay ini mampu menyadarkan semua lapisan baik masyarakat umum maupun pejabat, baik rakyat jelatah maupun pemerintah, baik siswa maupun mahasiswa sesuai dengan peranannya. Sadar dalam artian terus berkontribusi untuk negara tanpa mengharapkan dapat apa tapi telah memberi apa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar