Rabu, 27 September 2017

pahami toleransi

Layaknya sebuah jalan untuk menuju ke suatu tempat. Tentu kita boleh memilih jalan manakah yang akan kita lalui, apakah jalan A yang mungkin lebih dekat atau mungkin jalan B yang justru mungkin lebih jauh. Begitu juga dengan perihal aliran beragama (Islam). Tentu setiap individu memiliki kebebasan dalam memilih jalan tersebut.  Ada yang memilih jalan A karena dia tahu kalau jalan A itu jaraknya  lebih dekat jika dibanding dengan B, ada juga yang memilih jalan B karena dia ingin berpetualang atau menikmati pemandangan sepanjang jalan, dan  mungkin ada yang memilih jalan B dengan alasan karena memang dia hanya tahu satu jalan menuju tempat tujuannya.
Bukankah aliran  A ataupun aliran B juga akan sama-sama sampai ke tempat tujuan ? Namun juga perlu kita ingat bahwasannya jalan yang dekat tidak menjamin akan lebih duluan sampai dibanding jalan yang kelihatannya jauh. Tentu saja tergantung tunggangan/kendaraan yang dinaiki oleh si “Safar” atau orang yang sedang berpergian itu. Walaupun jaraknya jauh kalau pakai mobil pembalap tentu akan lebih cepat bukan?  Begitu pula jika yang lewat jalan A (jalan yang lebih dekat) namun hanya berjalan kaki. Tentu butuh waktu lama untuk sampai ke tempat tujuan. Begitu pula dengan perihal perbedaan dalam beraliran, entah kita memilih A atau B, cepat atau lambatnya kita menuju Allah, menuju Ridho dan Rahmat-Nya, tentu kita harus bergegas dalam menaati segala peraturan-Nya.  

Bisa dikatakan bahwa kelompok yang fanatik itu sama halnya dengan mereka yang memilih jalan B dengan alasan mereka hanya tahu satu jalan saja untuk mencapai tempat yang dituju dan mengatakan jalan yang lain adalah “salah” karena ketidaktahuannya itu.  Begitu pula bagi mereka yang fanatik dan menganggap aliran agamanya lah yang paling benar. Itu biasanya karena mereka dangkal akan Ilmu Pengetahuan. Toh Allah itu menilai berdasarkan ketakwaan hambanya bukan alirannya, tidak ada dalam al-Qur’an maupun Hadist yang mengatakan bahwa Allah memilih aliran A masuk surga B masuk neraka, yang ada itu mereka yang beragama Islam dan bertakwa kepada Allah pasti akan masuk surga. Yuk sama-sama satukan umat dengan saling memahami dan toleransi.

Kamis, 14 September 2017

Makalah pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi lengkap

Kata Pengantar
Tasawuf merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta dengan usaha yang tentu tidaklah mudah untuk dicapai. Oleh karena itu, mempelajarinya adalah penting bagi setiap umat muslim guna mempererat hablum minallah ( hubungan dengan Allah). Dengan mempelajari dan memahami Ilmu Tasawuf diharapkan tiap individu mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam makalah ini pemakalah akan menyajikan mengenai pengertian baik secara etimologi maupun terminologi dari beberapa referensi yang telah kami kumpulkan. Dengan harapan sumber-sumber yang telah kami kumpulkan ini dalam membantu menyelesaikan pertanyaan mengenai apa sih tasawuf itu. Selanjutnya saya sangat bererimkasih kepada pengarang buku yang kami jadikan referensi juga teman-teman yang telah bersedia membantu menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang telah diberikan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari Bapak Sudarto, Mpd.I selaku dosen pengampu “Akhlak Tasawuf” juga teman-teman sangat kami nantikan. Sekian.


Salatiga, 09 September 2017



Pemakalah




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertanyaan pertama yang muncul setiap kita membahas tasawuf adalah; apakah tasawuf itu? Apa karakteristik umumnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, perlu dikemukakan bahwa tasawuf secara umum adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkahlaku manusia, dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah.
Meskipun kata tasawuf sudah begitu terkenal, namun bersamaan dengan hal itu pengertian terhadap kata ini kabur dalam beragam makna yang ada kalanya malah bertentangan. Hal ini terjadi karena tasawuf atau mistisisme telah jadi semacam milik bersamaberbagai agama, filsafat, dan kebudayaan, dalam berbagai kurun-masa. Dalam kenyataannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakatnya, dini berarti ungkapan-ungkapannya itu tidak bebas dari kemunduran dn kemajuan kebudayaan zamannya sendiri.
Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pengalaman para sufi ataupun mistikus itu adalah sama. Perbedaan diantara mereka hanyalah karena ketidksamaan interpretasi atas pengalaman itu sendiri, karena pengaruh kebudayaan di masa sang sufi atau mistikus tersebut berafiliasi.
Ada beberapa kekeliruan dari pra ahli ilmu jiwa, yang terfatal ialah anggapan mereka bahwa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisisme itu semacamnya kondisi sakit jiwa. Padahal, apa yang dirasakan seorang sufi atau mistikus di saat-saat tertentu, di saat-saat sementara dia tidak menyadari dirinya sendiri, adalah yang mengakibatkannya menyatakan bahwa alam lahir tidak memiliki realitas sama-sekali. Tentu saja hal ini tidak bisa menjadi alasan untuk mengatakan bahwa seoarang sufi ataupun mistikus adalah pribadi yang sakit atau tidak waras. Sebab sakit jiwa selalu dibarengi hilangnya kesadaran atas aku secara terus-menurus. Sementara seorang sufi ataupun mistikus sama sekali tidak kehilangan sadar dirinya. Dan kalaupun dia tetap hanya dianggap sebagai peibadi yang sakit, mestinya pun para penyair, penulis, seniman, dan pemusik dianggap sebagai pribadi-pribadi yang juga sakit, karena mereka pun merasakan adanya perasaan-perasaan husus yang tidak dirasakan orang-orang awam.[1]

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana pengertian tasawuf secara etimologi dan terminologi?
2.     Apa pengertian tasawuf dalam Islam?
3.     Apa sejatinya tasawuf itu?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Secara Etimologi dan Terminologi
Tentang asal-usul kata “sufi” itu sendiri, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Dintaranya ada yang menganggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab tidak terdapat akar katanya. sementara yang lain menganggap bahwa kata sufi berasal dari shafa (bening), dengan mengemukakan syair Abu al-Fath al-Basti sebagai berikut:
Tentang sufi orang pun tidak sejalan
Mereka berselisih paham dan dari ‘shuff dikirakan
Pada seseorang gelar ini tidak kukenakan
Kecuali mereka yang bening hati gelar sufi layak disandangkan.
Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari shafwun yang juga berarti bening. Sementara  yang lain menganggap bahwa kata sufi itu berasal dari kata shaff atau barisan, sebab para sufi berada pada barisan pertama di hadapan Allah. Yang lainnya mengatakan bahwa kata tersebut dinisbatkan oleh pada Ahlus Suffah, sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang miskin, yang tinggal dalam ruangan tersebut dikenal tekun beribadah. Menurut pendapat yang lain lagi, itu berasal dari dari sifat. Sementara pendapat berikutnya menganggap kata itu berasal dari nama seorang penjaga Ka’bah di zaman Jahiliyyah, yaitu Shuffah ibn Murrah. Pendapat yang lain lagi mengatakan bahwa sufi tersebut berasal dari kata Yunani, shopia, yang berarti kebijakan. Namun kajian ilmiah membuktikan bahwa semua pendapat diatas jauh dari kata tepat. Yang lebih tepat ialah kata sufi (shufi) brasal dari shuf atau bulu domba. Dikatakan, tashawwafa al rajul, kalau memakai kain wol. Pada masa awal perkembangan asketisme , pakaian bulu domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis. Para sufi sendiri banyak berpendapat seperti ini, diantaranya al-Sallaj al-Thusi dalam karyanya, al-luma’. Pendapat ini dikokohkan Ibn Khaldun dan lain-lainnya.[2]
Sedangkan menurut terminologis pun, tasawuf diartikan secara variatif oleh para ahli, antara lain yaitu :
a.      Imam Junaid dari Baghdad, mendefinisikan sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
b.     Syekh Abul Hasan asy-Syadzili , syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.
c.      Sahal al-Tustury mendefinisikan tasawuf dengan “ orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.
a.      Syeikh Ahmad  Zorruq dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:
“Ilmu yang denganya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.
Dengan demikian dapat disimpulkan secara sederhana, bahwa tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.[3]

B.    Pengertian Tasawuf dalam Islam
Tasawuf dalam Islam melewati berbagai fase dan kondisi. Pada tiap fase dan kondisi yang dilewatinya terkandung berbagai pengertian  yang setiap fasenya hanya mencakup sebagian aspek-aspek saja. Meskipun begitu, dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak diperselisihkan, yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Mungkin ini yang dimaksudkan Ibn al Qayyim dalam Madarij al-Salikin dengan: “ Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.” Barangsiapa yang diantaramu  semakin bermoral, tentu, jiwanya pun semakin bening.”
Dengan begitu, jelas pada dasarnya tasawuf berarti moral. Dengan pengertian begini, maka tasawuf juga berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan moral.
Mengenai aspek moral, dalam al-qur’an terdapat banyak ayat yang mendorong pada keluhuran moral ini, misalnya, dorongan-dorongan asketisme, kesabaran, berserah diri  pada Allah, rela, cinta, yakin, hidup sederhana, dan segala hal yang diniscayakan pada setiap Muslim sebagai kesempurnaan Iman. Al-qur’an sendiri menyatakan bahwa Rasulullah saw adalah suri-teladan yang terbaikbagi orang yang hendak hendak menyempurnakan diri dengan keutamaan-keutamaan tersebut dalam bentuknya yang paling luhur.
Dalam kenyataannya, moral Islam adalah landasan syari’at Islam. Sehingga ketiadaan moral dalam hukum-hukum syari’at, baik yang berkaitan dengan hukum-hukum di dalam aqidah ataupun fiqh, akan membuat hukum tersebut menjadi semacam bentuk tanpa jiwa atau wadah tanpa isi.
Keluhuran moral para warga masyarakat tidak akan terwujud hanya dengan membuat undang-undang, hukum serta menjatuhkan denda. Tetapi ia baru terwujud apabila dalam diri setiap warga masyarakat terdapat kehendak untuk melakukan perbaikan budi pekerti. Firman Allah: “ Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri,” serta, “Dan, bahwasannya, seorang manusia tidak akan memperoleh  selain yang telah diusahakannya.”
Karena menyadari  pentingnya landasan moral dari agama inilah, maka para sufi begitu menaruh perhatian terhadapnya, dan membuat mereka berpendapat bahwa setiap ilmu yang tidak dibarengi rasa taqwa terhadap Allah dan pengetahuan mengenai-Nya, tidak akan berarti dan bermanfaat tidak sukar menimba banyak ilmu lewat buku, tetapi untuk memiliki moral yang baik, akan melalui perjuangan yang sulit. Hal ini karen moral yang baik itu adalah hasil dari praktek-praktek berat dan konflik setiap manusia dengan hawa nafsunya sendiri, yang kalau dia lulus akhirnya membuatnya selalu konsisten pada kebenaran. Karena itu para sufi, dalam pembahasan mereka terhadap moral, yang merupakan substansi agama, mereka lalu mengembangkan Ilmu yang mandiri, yang merupakan pendukung ilmu kalam dan ilmu fiqh. Oleh kaum Muslimin sendiri, ilmu ini kemudian dipandang sebagai salah satu dari ilmu-ilmu agama, yang berdasarkan pada al-qur’an dan as-sunnah. Ibn Khaldun telah berkta: “Ilmu tasawuf termasuk salah satu ilmu agama yang baru dalam agama (Islam) cikal bakalnya, bermula dari generasi pertama ummat (Islam), baik dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya. Ia adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah,  penghadapan diri sepenuhnya kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjuhan diri dari kelezatan, harta, dan pangkat yang dikejar-kejar orang banyak, dan pemisahan diri dari orang lain untuk bersendiri dan beribadah. Dan hal seperti ini adalah biasa dalam kalangan sahabat dan generasi setelahnya. Lalu pada abad kedua Hijriyah, ketika penghidupan duniawi semakin semarak di kalangan orang-orang, ketika mereka hanya cenderung bergelut dengan hal-hal keduniaan, maka orang-orang yang lebh mengkonsentrasikan diri pada ibadah itu digelari sufi.”.
Dari uraian Ibn Khaldun di atas tampak jelas bahwa tasawuf dalam Islam, sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam.[4]

C.    Apa Sejatinya Tasawuf Itu?
Amat banyak rujukan disampaikan oleh para ahli terhadap asal-muasal istilah tasawuf. Dalam berbagai buku teks tasawuf, kata ini biasanya dirujukkan kepada beberapa kata dasar. Termasuk di dalamnya shaff (baris, dalam shalat) karena dianggap kaum sufi  berada dalam shaff pertama. Atau shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. Atau juga ahl al-shuffah, yakni par Zahid (pezuhud) dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufa. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa, atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir ibnHayyan seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Di dalam berbagai buku tasawuf, menurut Abdul Qadir Al-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Tapi, kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran Al-Qur’an tentang penyucian hati.
Demi nafs dan penyempurnaan (penciptaan-Nya) ... Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagallah orang-orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7-9).
Kata menyucikan (zakka) yang dipakai ayat di atas berasal dari akar kata yang juga membentuk salah satu ungkapan-kunci tasawuf, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Lebih jauh dari itu, dalam kosa kata tasawuf istilah ini biasa disinonimkan dengan tashfiah lagi sebuah kata benda bentukan (mashdar) dari akarkata shafa’.
Dengan demikian, pada dasarnya tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah) spiritual psikologis, keilmuan dan jasmaniah yng dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam Kitab Suci tersebut.
Kiranya ini semua didukung oleh hadis Nabi yang amat populer yang berbunyi:”Di dalam diri manusia ada segumpal organ tersebut, maka baiklah semua diri orang itu. Dan jika buruk organ itu, akan buruklah semua diri yang dimilikinya. Organ tersebut adalah hati.” Nabi kemudian diriwayatkan mengatakan: “ Jika seorang Mukmin melakukan keburukan, maka muncullah satu titik hitam dalam hatinya. Jika ia terus-menerus melakukan keburukan, maka makin banyak titik hitam yang melekat di hatinya.” Jika sudah demikian, dapat diduga bahwa pada akhirnya hati orang seperti ini akan sepenuhnya tertutupi dengan lapisan hitam, yang akan menghalanginya dari mendapatkan cahaya Allah Swt. Yang sesungguhnya selalu siap menyinari hati setiap manusia. Maka, sebaliknya dari menjadi hati nurani (hati yang bersinar), hati orang seperti ini bagaikan berkarat dan dikuasai oeh penyakit. Tasawuf, ebagaimana dikatakan diatas, adalah suatu upaya suatu metode, disiplin untuk menaklukkan al nfs al ammarah bi al-su’ (nafsu yang mendorong-dorong untuk melakukan keburukan) agar kita terhindar dari keadaan hati yang berdaki seperti itu.[5]












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Tasawuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepada-Nya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapapun boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.











DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami. Sufi Dari Zaman ke Zaman. Diterjemahkan oleh: Ahmad Rofi’ ‘Utsmani. Bandung: Penerbit Pustaka.
Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Tasawuf. Jakarta : Mizan.
http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html



[1] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.1
[2] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.21
[3] http://www.sarjanaku.com/2011/11/pengertian-tasawuf-secara-etimologi-dan.html
[4] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani. (Bandung: Penerbit Pustaka,1985),hal.10-15
[5] Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), hal. 89-93.

Senin, 11 September 2017

Praktik Pendidikan Akhlak dan Moral di Jepara

Nama  : Lilis Siti Fatimah
Nim     : 23030160068
Kelas   : TBI/B

Praktik Pendidikan Islam di Indonesia
(Praktik Pendidikan Akhlak dan Moral di Jepara)
Oleh: Lilis Siti Fatimah
Abstract: Jepara is one of a small city in the central java of Indonesia. Education is a key to get a better state order. Through proper and best education, we are able to print high-quality human resource, eradicate ignorance, and destroy poverty.but education without character and moral is nothing. In a fact, Jepara is one of small city which have so many humans who are has stricken viruses  HIV/AIDS. In addition in Jepara also many criminal.So that, increasing character and moral education is very needed to make Indonesia especially Jepara’s city to be better.
Keywords:pactice Islam’s education in Indonesia,Islam’s  education in Jepara, characteristic and moral education.
Pendidikan merupakan kebutuhan pribadi seseorang, kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan hal  lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap manusia untuk mengembangkan kualitas,potensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari  yangtidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran, dari yang kurang paham menjadi paham, intinya yaitu  pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna. Sedangkan, Pendidikan islam merupakan usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan islam.
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Dalam UU. No tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, disebutkan mengenai tujuan pendidikan nasional, yakni :
    “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,memiliki pengetahuan, keterampilan,kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”[1]
Selain itu Dasar pendidikan adalah;  landasan yang dijadikan  pegangan dalam menyelenggarakan pendidikan. Adapun dasar pendidikan di Indonesia secara yuridis telah dirumuskan, diantaranya :
1.     Undang-undang tentang pendidikan dan pengajaran  No. 4 Th. 1950,  Nomor 12 Th 1954, Bab III pasal 4(empat) berbunyi : Pendidikan dan pengajaran berdasar atas azas-azas yang termaktub dalam pancasila, UUD RI. Dan kebudayaan bangsa Indonesia.
2.     Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 Bab II pasal 2(dua)berbunyi : Dasar pendidikan adalah falsafah negara pancasila.
3.     Dalam GBHN Th. 1973, GBHN 1978, GBHN 1983 dan GBHN 1988 Bab IV bagian pendidikan berbunyi : Pendidikan Nasional Berdasarkan Pancasila.[2]

Sedangkan Dasar dan tujuan pendidikan agama Islam : Firman Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Hadist-lah yang menjadi pondamennya.Al-Qur’an adalah sumber kebenaran dalam Islam, kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Sedangkan sunah Rasulullah yang dijadikan landasan pendidikan agama Islam adalah merupakan perbuatan,perkataan atau pengakuan Rasulullah SAW dalam bentuk isyarat (suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat atau orang lain dan Rasulullah membiarkan saja, dan perbuatan serta kejadian tersebut terus berlangsung).


 Dan Allah berfirman yang artinya :“ Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia akan bahagia sebenar-benar bahagia. (Q.S Al-Ahzab : 71) [3]
Pendidikan merupakan bagian yang intern dalam kehidupan manusia. Dan, manusia hanya bisa dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena itulah, maka pendidikan merupakan sebuah proses yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia. Tak terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya memiliki berbagai dinamika.Eksistensi pendidikan Islam telah membuat kita terperangah dengan berbagai dinamika dan perubahan yang ada.

Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya membuat kita senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas diri, demi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia ini. Telah lazim diketahui, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai perubahan, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi(IPTEK) yang ada. Sejak dari awal pendidikan Islam, yang masih berupa pesantren tradisional hingga ke modern, sejak madrasah hingga ke sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam hingga Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang semaksimal mungkin. Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita mencermati dan memahami bagaimana kemunculan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, untuk kemudian dapat bersama-sama meningkatkan kualitasnya, demi tercipta pendidikan Islam yang humanis, dinamis, berkarakter sekaligus juga tetap didalam koridor Alqur’an dan Assunah.[4]
PRAKTIK PENDIDIKAN ISLAM DI JEPARA
Di Jepara , pendidikan Islam telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan zaman pra-kemerdekaan dulu, hal ini dapat dilihat dari menjamurnya ponpes-ponpes di kota ini. Sperti: pondok pesantren modern Darul Falah  amtsilati yang telah terbukti keunggulannya dengan berbagai hasil karyanya yang telah tersebar luas di seluruh penjuru Indonesia. Selain itu juga ada pondok pesantren modern lain seperti ponpes Al Muttaqin,ponpes Tahfidz Qur’an Al Husna,ponpes Darussalam dsb. Pendidikan islam di Jepara juga didukung dengan banyaknya Madrasah-madrasah baik madrasah ibtidaiyah hingga madrasah aliyah.namun perlu diketahui bahwa menjamurnya ponpes,madrasah atau lembaga-lembaga pendidikan islam lainnya, bukan merupakan sebuah jaminan 100% dalam pembentukan akhlak seorang anak. Jika kita lihat secara umum  tujuan dari pendidikan islam salah satuya adalah membentuk akhlak yang mulia.
Namun ketika kita mengamati realitas  yang berada di Masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan,di Jepara banyak sekali siswa/I  baik SD(MI),SMP(MTS) maupun MA sederajat  yang bahkan seperti seorang anak yang tak pernah terdidik. Hal ini dibuktikan dengan maraknya tindakan-tindakan asusila yang terjadi di lingkungan Jepara seperti; anak MI/Mts yang sudah  berani merokok bahkan minum minuman keras, pergaulan bebas,pengonsumsian narkoba yang biasa terjadi pada anak-anak SMA sederajat,melawan orang tua bahkan hingga hampir terjadi sebuah pembunuhan antara anak terhadap orang tuanya dikarenakan tidak dibelikan sebuah sepada motor sebagaimana yang telah terjadi  di salah satu desa di Jepara  tahun lalu. Dari sebuah hasil penelitian Jepara  merupakan termasuk kota yang mempunyai penduduk telah terinfeksi virus HIV/AIDS terbesar nomor 6 se- jawa Tengah.penyakit ini tercatat  selalu meningkat setiap tahunnya, yaitu tahun terakhir jumlah penderita positif HIV/AIDS  adalah 576.[5]Hal ini sungguh sangat ironi bukan?Lalu apakah yang salah dengan pendidikan di Jepara?Dimanakah peranan mereka?Siapakah sajakah yang seharusnya andil dalam hal ini?
Dari realitas di atas memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didikdalam  berkepribadian paripurna. Pendidikan diposisikan sebagai institusi  yang dianggap  gagal  membentuk anak didik berakhlak mulia. Telah dijelaskan di atas bahwa berakhlak mulia merupakan  bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia, tentu tujuan tersebut membutuhkan perhatian besar dari berbagai pihak dalam rangka mewujudkan manusia berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani sekaligus berakhlak mulia. Inti dari pendidikan islam adalah pendidikan akhlak, sebab tidak ada artinya skill hebat jika tidak berakhlak mulia. Tidaklah berarti mempunyai generasi hebat, jenius, kreatif tetapi tidak berakhlak karimah/mulia.
PENDIDIKAN AKHLAK DAN MORAL
Akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan ini. Karena tanpa akhlak dunia akan hancur, dunia akan menjadi seperti neraka, dunia akan menjadi ladang pemuasan keinginan tak terkendali, baik kendali keagamaan, adat, maupun moral. Akhlak mulia menempati urutan teratas jika dibandingkan dengan skill.Di manapun tempatnya akhlak mulia mendapatkan tempat di hati masyarakat.Untuk itu perlu kiranya langkah dan terobosan lebih maju untuk mendidik anak didik mempunyai akhlak mulia.Metode dapat diandalkan dan mudah dilakukan. Di samping itu perlu adanya kesamaan antara pendidikan di rumah,sekolah dan lingkungan masyarakat, sehingga dimungkinkan jalan searah dalam mencapai tujuan.
Menurut Ulil Amri Syafri, dia membagi ruang lingkup akhlak menjadi tiga bagian besar, yaitu ;
1.     Akhlak kepada Allah swt. dan  Rasulullah saw., yang merupakan sikap atau perbuatan manusia yang seharusnya sebagai makhluk kepada sang khalik, yang antara lain meliputi sikap tidak mempersekutukan Nya, bertawakkal kepada Nya, mensyukuri nikmat-nikmatnya, dan lain-lain.
2.     Akhlak pribadi dan keluarga, yang mencakup bahasan tentang sikap dan propil muslim yang mulia, memperlakukan keluarga dan manusia dengan baik, cara berinteraksi dengan manusia lain, dan lain-lain.
3.     Akhlak bermasyarakat dan muamalah ,didalamnya mencakup hubungan antar manusia. Akhlak ini mengatur konsep hidup seorang muslim dalam bermuamalah disegala sektor, seperti dalam sector ekonomi, kenegaraan, maupun sektor komunikasi, baik itu kepada muslim atau non muslim dalam tataran lokal ataupun global.[6]
Ada kecenderungan dari masyarakat umum Jepara bahwa pendidikan adalah di sekolah, di sekolah anak cukup mendapatkan pendidikan, mulai dari skill sampai pendidikan akhlak. Padahal pendidikan di sekolah hanya satu  bagian dari bentuk pendidikan, adanya  ketergantungan orang tua dalam  mendidik anak kepada sekolah berakibat pengabaian pendidikan di rumah dan masyarakat, padahal pendidikan di sekolah hendaknya bersesuaian dengan pendidikan di sekolah, paling tidak ada semacam kesamaan. Adalah mustahil pendidikan di sekolah  dapat berhasil maksimal sedangkan pendidikan di rumah dan lingkungan tidak mendukung.
Sebagai contoh anak di sekolah mendapat pelajaran tentang sholat dari guru agamanya, mulai dari persiapan hingga bacaan sholat dan gerakan sholat.Anak yang telah mendapatkan ilmu tentang sholat diharuskan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika anak pulang dari sekolah, kemudian datang waktu sholat, anak melihat ayah, ibu dan saudaranya tidak sholat, bagaimana perasaan,pikiran anak tadi? Mungkin anak akan  enggan melaksanakan sholat dengan alasan ayah, ibu dan saudaranya juga tidak sholat atau seorang guru menasehati anak didiknya untuk tidak merokok, kemudian pada waktu lain, anak didik melihat guru tersebut merokok . bagaiamana sikap siswa pada waktu itu? Bagaimana kesimpulan siswa ketika itu?
Kejadian tersebut mungkin saja ada, dan merealitas dalam masyarakat bahkan bukan hanya di Jepara, melainkan mungkin hampir di Seluruh Indonesia. Terlepas apakah metode yang digunakan di sekolah telah sesuai atau tidak, apakah penyelenggaraan pendidikan di sekolah memungkinkan anak didik merasa aman, terlindungi, gembira dalam mengembangkan bakat dan potensinya, apakah guru sudah mengoptimalkan pembelajaran dengan memperhatikan aspek psikomotor, afektif dan kognitif atau tidak, yang pasti keadaan-keadaan di masyarakat masih sering terjadi perbuatan asusila, anarkis, amoral dan berbagai maksiat dan kejahatan. Kejadian tersebut memberi sinyal dan gambaran bahwa pendidikan akhlak belum menjadi prioritas dalam dunia pendidikan. Pendidikan hanya mengembangkan aspek kognitif dibanding,  aspek psikomotor, afektif, emosi dan religi. Pendidikan dianggap tidak berkualitas ,pendidikan telah dianggap gagal ? kegagalan tersebut tercermin dari banyaknya perbuatan mungkar,asusila dalam kehidupan masyarakat. Keadaan ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan tidak berkualitas dan gagal.Apakah anggapan tersebut berdasarkan?Karena kegagalan pendidikan tidak hanya diukur dari sikap moral di masyarakat saja.Apakah pendidikasn tidak bermutu sehingga menghasilkan anak didik bermoral rendah, berakhlak rendah?Apakah pendidikan tidak mampu menampung dan mengakomodasi keinginan dan potensi, bakat dan kemampuan siswa? Apakah proses pembelajaran sudah memberi ruang dan waktu bagi berkembangnya bermacam potensi  dan bakat siswa? Kalau siswa telah mendapatkan  haknya untuk mengembangkan diri dan potensinya maka pendidikan telah memberi makna kepada siswa.
Ada dua bentuk upaya yang dilakukan oleh kegiatan pendidikan dalam melestarikan suatu kebudayaan beserta nilai-nilai akhlak dan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yaitu apa yang disebut dengan transformasi nilai dan internalisasi nilai. Bahwa yang dimaksud dengan upaya transpormasi nilai adalah, suatu upaya untuk mewariskan nilai-nilai yang dimiliki oleh generasi sebelumnya untuk menjadi milik generasi berikutnya.Sedangkan yang dimaksud dengan internalisasi nilai adalah suatu upaya untuk menanamkan nilai-nilai yang dimiliki oleh generasi sebelumnya sehingga tertanam kedalam jiwa generasi berikutnya.
          Jadi upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk mewariskan nilai-nilai akhlak kepada anak didik, sehingga nilai-nilai akhlak itu menjadi milik anak didik, disebut sebagai upaya mentransformasikan nilai, sedangkan upaya yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai akhlak kedalam jiwa anak didik sehingga menjadi kepribadiannya disebut dengan upaya menginternalisasikan nilai. Kedua upaya ini dalam kegiatan pendidikan harus dilakukan secara serempak lewat proses belajar mengajar dilingkungan sekolah, ataupun lewat proses pergaulan dan interaksi sosial di lingkungan rumah tangga dan masyarakat.Tugas pendidikan pada umumnya, dan juga pendidik atau guru pada khususnya ialah menanamkan suatu norma-norma tertentu sebagai mana telah ditetapkan dalam dasar-dasar filsafat pada umumnya, atau dasar-dasar filsafat pendidikan pada khususnya yang dijunjung oleh lembaga pendidikan atau pendidik yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.[7]
          Selain itu, pendidikan juga hendaknya memperhatikan perkembangan anak didik, baik dari segi kurikulumnya, metode dan materi ajarnya, perhatian terhadap aspek perkembangan anak didik perlu diperhatikan agar terjadi umpan balik yang seimbang, umpan balik yang dimaksud adalah adanya respon yang positif  dari anak didik terhadap pendidikan yang diikutinya, di sisi lain, anak didik akan terhindar dari pengabaian pendidikan . bakat, potensi dan minatnya akan tersalurkan  jika pendidikan memperhatikan aspek perkembangan anak didik. Guru akan mudah mengajar dan memberikan materi dengan metode tepat. Pendidikan hendaknya mengembangkan aspek pribadi dengan tidak mengabaikan aspek sosial, lebih dari itu pendidikan hendaknya mengembangkan aspek emosi dan religi anak.agama adalah sumber ajaran akhlak mulia, dengan pemahaman agama kuat diharapkan anak mempunyai referensi cukup untuk mengembangakan kepribadiannya.
Mengembangkan kepribadian mengacu kepada mendidik akhlak. Dalam mendidik akhlak  perlu sebuah sistem ataupun metode tepat agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik  serta mampu mewujudkan dalam kehidupan keseharian.Zakiah Darajad mengomentari tentang sikap memberikan contoh dengan suri tauladan.Dia mengatakan, bahwa latihan keagamaan, yang menyangkut akhlak atau ibadah sosial, atau hubungan manusia dengan manusia sesuai dengan ajaran agama, jauh lebih penting dari pada penjelasan dengan kata-kata.Latihan-latihan ini dilakukan melalui contoh yang diberikan oleh guru atau orang tua.Oleh karena itu guru agama hendaknya mempunyai kepribadian, yang dapat mencerminkan ajaran agama yang diajarkannya kepada anak didiknya.Lalu sikapnya dalam melatih kebiasaan-kebiasaan baik yang sesuai dengan ajaran agama itu, hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.[8]
          Suri tauladan akan menjadi alat praga langsung bagi peserta didik. Bila guru agama dan orang tua memberikan contoh tentang pengamalan akhlak, maka peserta didik akan mempercayainya, sebagai mana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw., dalam upaya mendakwahkan dan mensyiarkan ajaran agama Islam ditengah-tengan umat manusia. Kenyataan inilah yang dijelaskan oleh Allah swt., dalam surah Al Ahzab ayat 21;
Artinya;“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu  (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap  (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”[9]
          Setelah dengan cara melalui sikap memberikan suri tauladan untuk menanamkan akhlak kepada anak didik atau peserta didik, maka cara selanjutnya adalah dengan sikap mengajak dan mengamalkan.
Didalam Islam, akhlak yang diajarkan kepada peserta didik, bukan hanya untuk dihapal menjadi ilmu pengetahuan  yang bersifat kognitif semata, tapi juga untuk dihayati dan menjadi suatu sikap kejiwaan dalam dirinya yang bersifat efektif, dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat psykomotorik. Islam adalah  agama yang menuntut para pemeluknya untuk mengamalkan apa yang diketahuinya menjadi suatu amal shaleh.








PENUTUP
Akhlak dalam Islam memiliki nilai ibadah yang berdasarkan pada syariat agama Islam. Akhlak sebagai suatu tabiat yang merupakan perwujudan tingkah laku seorang muslim yang berhubungan dengan nilai baik dan buruk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Moral adalah juga merupakan suatu ujud tingkah laku yang berhubungan dengan nilai baik dan buruk, tapi parameter untuk menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk ialah hanya berdasarkan pada hasil olah pikiran manusia semata atau filsafat.Sedangkan akhlak untuk menentukan baik buruknya perbuatan manusia itu parameternya adalah wahyu Allah swt.  Akhlak dalam Islam adalah akhlak yang berdasarkan pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW.
Sehingga agar seseorang dapat memiliki dan mengamalkan akhlak yang terpuji (akhlakul karimah) haruslah dididik dengan pendidikan Islam yang mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam. Pendidikan Islam itu dapat dilaksanakan di lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah, dan dapat juga dilaksanakan pada lembaga pendidikan non formal seperti pengajian di masjid ataupun majelis-majelis taklim lainnya, dan dapat juga dilaksanakan di lembaga pendidikan informal seperti pendidikan di rumah tangga atau lingkungan tempat tinggalnya.Untuk mengajarkan akhlak Islam, maka pendidik harus lebih dulu mencerminkan seorang yang berakhlak mulia dengan amalan-amalan yang dilakukannya. Janganlah mengajarkan suatu ilmu tapi tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.Karena Allah swt.sangat murka dan membenci kepada orang yang berkata tapi tidak berbuat, dan kepada orang yang berilmu tapi tidak beramal.






DAFTAR RUJUKAN.
Darajad Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.
Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya, Bandung, Gema Risalah Pers, 1991.
DR. Amri Ulil Syafri. MA., Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada 2014, cet.II.
MAKALAH dan ARTIKEL  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA.htm
Patoni Achmad, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT. Bina Ilmu, 2004 Tirtarahardja Umar, Pengantar Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005
Saipullah Ali HA, Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan, Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.
UU RI No. 2 Tahun. 1989. Tentang Sisdiknas, Jakarta: Intan Periwara, 1989.



[1]UU RI No. 2 Tahun. 1989. Tentang Sisdiknas, (Jakarta: Intan Periwara, 1989), hal. 8
[2]Patoni Achmad, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta : PT. Bina Ilmu, 2004, Hal.40.
[3]MAKALAH dan ARTIKEL  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA.htm
[4]http://ulashoim.blogspot.co.id/2012/06/pendidikan-islam-di-indonesia-makalah.html
[5]http://www.jatengtime.com/2015/11/30/jepara-darurat-aid%E2%80%99s-penderita-hivaids-capai-576-orang.html
[6]DR.Ulil Amri Syafri,MA.,Pendidikan Karakter berbasis berbasis Al Quran, ( Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2014.) cet.II,hlm.80-81.
[7]Ali Saipullah HA, Pendidikan Pengajaran Dan Kebudayaan,Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1982 ) hlm.53.
[8]Zakiah Darajad, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1993 ), hlm.63-64.
[9]Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahnya, ( Bandung : Gema Risalah Pers, 1991 ) hlm.670.