Minggu, 17 Desember 2017

Internalisasi Bhineka Tunggal Ika Guna Mewujudkan Persatuan Umat dan Kebangkitan Bangsa
Oleh: Lilis Siti Fatimah

PENDAHULUAN
Bertepatan dengan tahun baru Hijriyah yaitu pada 1 Muharram 1439 H,  Zainut Tauhid selaku Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpesan  kepada seluruh umat muslim di Indonesia untuk mengembangkan sikap toleransi, tawazun (keseimbangan) serta menegakkan keadilan dalam menjalankan ajaran agama guna mewujudkan persatuan umat dan bangsa, Kamis (21/9).
Ini memang bukan suatu perkara yang mudah apalagi melihat latar belakang negara kita yang terdiri dari berbagai aliran beragama, ras/suku, budaya dsb. Ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) sepertinya telah dikumandangkan dari dahulu di negeri ini. Namun masih saja kita mendengar konflik yang tak berkesudahan di berbagai lini daerah. Negeri yang dulunya digandrungi akan kedamaian seakan semakin luntur tak berjejak.
Dewasa ini banyak sekali media yang memperbincangkan perihal banyaknya intoleransi yang terjadi di Indonesia, tak terkecuali antar aliran beragama  Islam. Tentu hal ini sangat meresahkan bagi umat Muslim di Indonesia terutama bagi aliran minoritas. Sebagaimana yang penulis kutip dari laman web KSM EKA BRASETY Universitas Indonesia bahwa hasil catatan  oleh komnas HAM, kejadian intoleransi di Indonesia terus mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Katakan saja pada tahun 2010 komnas HAM menerima 84 buah pengaduan kasus dimana 26 kasus penyegelan rumah beribadah, 14 kasus kekerasan dalam beraliran, 7 kasus sengketa internal dan konflik, dan 6 kasus pelanggaran terhadap jemaah Ahmadiyah, dan sisanya pelanggaran lain-lain. Pada 2011 tercatat 83 kasus pengaduan dengan 32 kasus terkait gangguan dan penyegelan atas rumah ibadah, 21 kasus terkaait Jamaah Ahmadiyah, gangguan dan pelarangan ibadah 13 kasus dan diskriminasi atas minoritas agama 6 kasus. Pada tahun 2012 tercatat 68 pengaduan dan pada tahun 2013 Komnas HAM menerima 39 berkas pengaduan. Data-data terseebut merupakan data yang tercatat pada tahun 2010-2013, belum ditambah dengan deretan kasus lainnya dari tahun 2014 hingga tahun 2017 ini.
Data diatas dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih tergolong rendah dalam memahami konteks toleransi. Tentu hal ini perlu adanya suatu pergerakan khusus juga kesadaran dari berbagai lapisan. Disini penulis lebih menekankan pada pemahaman atas Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan sekaligus cita-cita bangsa dalam meningkatkan kesadaran juga pemahaman bangsa mengenai bertoleransi. Karena dari pemahaman semboyan inilah Indonesia menjadi satu  dan sebab kurang pemahaman semboyan ini juga bangsa Indonesia ini bisa hancur terpecah belah.
Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tapi tetap satu jua. Berpuluh-puluh tahun kalimat tersebut terukir di lambang garuda kita dan berpuluh-puluh tahun kita melontarkan kalimat tersebut. Namun apakah sebenarnya arti dari semboyan itu bagi kita?
Dengan memahami makna yang terkandung dalam pancasila dan bhineka tunggal ika diharapkan tidak ada lagi konfrontasi antar umat muslim sehingga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah tetap terjaga.  Penulis yakin jika umat muslim di seluruh Indonesia mampu bersatu maka bukan hanya membangkitkan Indonesia, melainkan juga mampu membangkitkan peradaban Islam di dunia.  
ISI
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia yang secara etimologi diterjemahkan , bhineka berarti “beraneka ragam”. Kata neka dalam bahasa Sanskerta yang berarti “macam” atau “aneka”. Kata tunggal berarti “satu” dan ika berarti “itu”. Secara terminologi Bhineka Tunggal Ika diterjemahkan “beraneka satu itu” yang memiliki makna walaupun beraneka ragam namun pada dasarnya bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan.
Di dalam Islam sendiri bahwa Bhineka Tunggal Ika merupakan salah satu ajaran dari Islam dan telah termaktub dalam Al-Qur’an yang artinya:
 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat ayat 13)
Dari ayat diatas jelas bahwa Allah menyeru kepada umatnya untuk saling mengenal satu sama lain. Karena Allah menciptakan berbagai bangsa dan suku tidak lain untuk kita saling menghormati. Memang dalam ayat tersebut tidak menjelaskan secara gamblang mengenai toleransi dalam perbedaan beragama maupun dalam beraliran, namun disitu ada dijelaskan bahwa yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Maka secara tidak langsung ini dapat diartikan bahwa tentu ini menyinggung mengenai aliran atau agama. Maka barang siapa yang bertakwa kepada Allah dialah yang paling mulia tidak peduli alirannya apa dalam Islam, dia tetap mulia di sisi Allah selama ia bertakwa kepada Allah.
Itulah kenapa penulis sangat menekankan pada pemahaman masyarakat akan toleransi. Indonesia sendiri merupakan negara yang terkenal dengan kemajemukannya di mana terdiri dari berbagai pulau, bahasa, ras, suku, adat istiadat atau kebudayaan yang berbeda-beda. Kita sebagai negara majemuk harus menyadari dan mengaplikasikan apa yang terkandung dalam Qs. Al Hujurat ayat 13. Dengan demikian kesadaran akan bhineka tunggal ika serta toleransi harus tertanamkan di setiap individu ataupun kelompok. Mengingat banyak sekali ancaman disintegrasi atau perpecahan yang bersumber oleh kemajemukan berupa pertikaian serta konflik yang tak berkesudahan sebab adanya sikap intoleran antar golongan.
Memperbincangkan masalah konflik serta intoleransi baru-baru ini tanah air kita dikejutkan oleh penolakan dua pendakwah. Pertama yaitu penolakan dakwah terhadap Felix Siauw (aktifis Hizbut Tahrir Indonesia) yang dianggap tidak mau menandatangani surat kesetiaan terhadap pancasila. Pada saat itu pendakwah berketurunan etnis cina ini berencana akan mengisi ceramah pengajian di Masjid Manarul Gempeng, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Sabtu (4/11). Sementara di Garut juga terjadi penolakan atas Ustadz Bachtiar Nasir yang berencana akan mengisi pengajian di Masjid Agung Garut, Sabtu (11/11).
Konflik saudara inilah yang kerap merusak persatuan umat. Kita tidak sadar bahwa perlahan ancaman disintegrasi atau perpecahan antar golongan maupun umat seakan telah terlihat nyata di dilingkungan kita.
Maka kita sebagai bangsa Indonesia dan umat muslim khususnya haruslah benar-benar menyadari ancaman ini. Kita telah lahir dengan keberagaman maka kita juga harus menjaga keutuhan keberagaman ini. Kita bangsa Indonesia harus menjaga persatuan Indonesia  dan siap bangkit membangun Indonesia yang intelek dan bernafaskan Islam.
Terakhir penulis akan memberikan cuplikan puisi dari Gus Taqi, dengan harapan pembaca mampu memahami bagaimana seharusnya menyikapi sebuah perbedaan dengan membiasakan hidup positif. Berikut puisi ;
Hidup positif itu...
Argumentatif, bukan provokatif
Bergerak cepat, bukan sibuk berdebat
Realistis, bukan fantastis
Mencerdaskan, bukan membodohkan
Menawarkan solusi, bukan mengintimidasi
Berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan
Mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan
Hidup positif itu....
Suka berhikmat, bukan mahir mengumpat
Menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan
Menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari-cari aib dan menyebarkannya
Menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaraan
Mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan
Hidup positif itu....
Memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis
Berletih-letih menanggung problema umat, bukan meletihkan umat
Menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan
Kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran
Siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh
Hidup positif itu....
mencari teman, bukan mencari lawan
Melawan kesesatan, bukan mengotak-atik kebenaran
Asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian
Menampung semua lapisan, bukan memecah belah persatuan
Mengatakan aku cinta kamu, bukan aku benci kamu
Hidup positif itu mengatakan “mari bersama kami”, bukan “kamu harus ikut kami”
Mendatangi, bukan menunggu dipanggil
Saling memaafkan, bukan saling menyalahkan
dari cuplikan puisi di atas dapat dipahami bahwa kita sebagai bangsa Indonesia sudah saatnya menyatukan barisan umat serta siap kompak dalam menghadapi setiap ancaman. Kita sebagai bangsa Indonesia harus siap berletih-letih menanggung segala permasalahan umat bukan malah menambahi serta meletihkan umat. Besar harapan dengan adanya pemahaman umat Muslim (sebagai kaum mayoritas di Indonesia) terhadap ke-Bhinekaan Indonesia, mampu mendobrak semangat nasionalisme untuk Indonesia yang lebih hebat, untuk Indonesia yang gandrung akan keadilan serta kesejahteraan.
PENUTUP

Tidak terpungkiri bahwa Indonesia ini memiliki banyak sekali keanekaragaman sehingga wajar jika ada konflik antar golongan atau umat. Namun, kita juga harus menyadari bahwa kebersamaan lah yang harusnya kita junjung bersama guna melawan musuh bukan malah sibuk bermusuh-musuhan sesama saudara. Indonesia akan bangkit karena kebersamaan serta rasa senasib sepenanggungan antar umat dan golongan. Begitu juga sebaliknya Indonesia bisa menjadi hancur karena perpecah belahan. Maka dari itu mari bersama-sama membangun persatuan umat untuk menjunjung nilai sila yang ketiga yaitu persatuan Indonesia, juga Mari kita bersama-sama bangkit membangun bangsa dan peradaban Islam dengan saling memahami satu sama lain. Wallahua’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar